AUDIENSI Presiden Jokowi dengan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Laskar FPI (TP3) telah berlangsung Selasa, 9 Maret 2021, di Istana Negara.
Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensekneg Pratikno. Sementara TP3 yang dipimpin oleh Amien Rais datang bersama Abdullah Hehamahua, Muhyiddin Junaidi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Wirawan Adnan, dan Ansufri Sambo.
Setelah audiensi, pada hari yang sama, Mahfud MD menggelar konferensi pers (konpres), menyebar link YouTube dan wawancara eksklusif (TVOne), secara sepihak.
Selain itu, ada kalangan yang coba menggiring opini ke arah isu bernuansa politik pencitraan. Hasil pemilu 2019 yang sangat patut diduga mengandung banyak masalah dan memakan korban ratusan orang tewas, perlu di-endorse semua pihak.
Karena itu, perlu ada yang bersuara. Pesannya, karena Amien datang ke istana, telah terjadi rekonsiliasi antara Jokowi dengan Amien Rais.
Kedatangan Amien Rais bersama anggota TP3 lain tidak ada urusan dengan rekonsiliasi. Pemilu 2019 yang diduga sarat kecurangan dan “pengorbanan” petugas KPPS biarlah jadi catatan sejarah kelam, yang kelak harus dipertanggungjawabkan para pelakunya di hari kemudian.
Bagi TP3, kejahatan kemanusiaan yang menewaskan enam anak bangsa secara brutal dan sarat penyiksaan oleh aparat negara adalah masalah sangat besar untuk ditumpangi isu rekonsiliasi. TP3 paham, siapa saja sebetulnya pihak yang mendambakan pengakuan dan endorsement!
Terlepas pemerintah berhak dan berkuasa melakukan konpres secara sepihak, sesuai kebiasaan dan etika moral, pihak-pihak yang terlibat dalam satu momen atau pertemuan sangat wajar mengadakan konpres bersama.
Hal ini terutama untuk menunjukkan kebersamaan, mencegah misinformasi, menghilangkan disinformasi, dan menghidari penggiringan opini sesuai kepentingan sepihak. Konpres bersama juga layak dilakukan untuk mencegah agar tidak ada pihak yang merasa lebih unggul atau mendominasi kebenaran.
Terkait konpres Mahfud di atas, TP3 perlu memberi catatan.
Bagi TP3, sepanjang yang diungkap objektif, faktual, dan fair, tentu tidak ada masalah. Namun faktanya ada hal-hal yang TP3 anggap tidak lengkap, distortif, tidak objektif, tendensius atau spekulatif, untuk tidak mengatakan manipulatif, yang karenanya perlu diklarifikasi atau dijawab!
Hal-hal tersebut akan diuraikan berikut ini.
Kata Mahfud: “TP3 datang tanpa bukti, karena pada dasarnya memang tidak punya bukti. Sejak awal kami tahu mereka tidak punya data gitu. Dan betul tadi tidak ada data yang disampaikan, bukti yang disampaikan tidak ada. Cuma pernyataan”.
Padahal, sebagaimana dimuat dalam Surat TP3 4 Februari 2021, tujuan TP3 beraudiensi adalah guna membuka jalan bagi penyampaian masukan dan temuan-temuan sejujur-jujurnya.
TP3 menyatakan ingin ikut berperan mengawal penuntasan kasus pembunuhan enam laskar FPI, setelah melihat adanya beberapa versi temuan yang tidak objektif. TP3 menuntut agar kasus tersebut diselesaikan melalui proses pengadilan objektif, transparan, dan adil.
Dengan terwujudnya audiensi 9 Maret 2021, TP3 berhasil mendapatkan dua komitmen penting dari Presiden Jokowi yang perlu dicatat.
Pertama, pemerintah siap menerima masukan dan bukti-bukti yang akan diserahkan TP3. Kedua, pemerintah akan terlibat aktif, sesuai wewenang, menuntaskan kasus pembunuhan enam laskar secara transparan dan berkeadilan.
Karena itu, mari kita catat dua janji Presiden Jokowi tersebut.
Selanjutnya, mari kita tunggu realisasi janji tersebut dalam proses hukum yang kelak berlangsung: bahwa komitmen tersebut bukan cuma omong-kosong atau basa-basi! Selain itu, publik diharap tidak tergiring dengan penjelasan Mahfud yang distortif dan misleading.
Kata Mahfud: "Namun jika ada yang mengungkapkan hal tersebut mengalami kejadian HAM berat, maka mana buktinya. Mana bukti pelanggaran HAM berat, mana bukti ya, bukan keyakinan. Jika ada, Pemerintah menunggu, secuil apapun buktinya."
Terkait bukti, TP3 menyatakan akan menyampaikan pada waktunya. Bukti-bukti milik TP3 kelak berupa data dan informasi yang telah beredar di publik, sudah dipublikasi Komnas HAM, maupun sama sekali baru (karena selama ini tersembunyi, disembunyikan atau dimanipulasi).
Bukti-bukti TP3 bisa sama dengan publikasi Komnas HAM. Namun diyakini sebagian bukti tersebut telah direkayasa atau tidak dimanfaatkan seutuhnya oleh Komnas HAM, sehingga diperoleh laporan dan rekomendasi yang tidak kredibel dan manipulatif.
TP3 paham yang berfungsi mencari alat-alat bukti adalah negara, bukan perorangan, keluarga korban, atau kelompok masyarakat seperti TP3. Tapi karena sudah committed untuk mengawal kasus pembunuhan dan berjanji akan menyampaikan, TP3 akan menyerahkan bukti-bukti dan hasil analisisnya segera.
Esensi jawaban TP3 atas komentar Mahfud: Tujuan TP3 beraudiensi adalah untuk menyatakan sikap dan meminta komitmen Presiden Jokowi.
TP3 datang beraudiensi sesuai surat 4 Februari 2021 bukan untuk menyerahkan dan membahas bukti-bukti, karena sadar itu bukan forum yang tepat. Namun bukan berarti TP3 tidak punya bukti seperti diklaim Mahfud.
TP3 telah membuat pernyataan, pada waktunya bukti-bukti tersebut akan diserahkan. Karena itu sepanjang bukti-bukti yang akan diserahkan tersebut objektif, faktual, dan valid, TP3 meminta agar tidak dicarikan alasan-alasan untuk mengabaikan atau menolak. Kita minta Mahfud dan pemerintah bersikap konsisten, fair dan ksatria.
Kata Mahfud: “Kalau bicara pengadilan HAM itu, satu tidak bisa Presiden. Pak Amien Rais dulu yang buat undang undang itu tahun 2000 ketika beliau Ketua MPR. Yang menentukan pengadilan HAM atau bukan, itu Komnas HAM. Di situ disebutkan Komnas HAM yang menyelidiki, Komnas HAM yang menentukan sesuatu itu melewati pengadilan HAM atau tidak”.
Persepsi TP3, intinya Mahfud membangun opini dan menggiring pemahaman masyarakat ke arah yang sesat dan meyesatkan. Penjelasannya sebagai berikut.
Komnas HAM dibentuk sesuai UU. UU tersebut dibuat tahun 2000 oleh Amien Rais dkk, era Amien jadi anggota DPR. Lalu Presiden memerintahkan Komnas HAM mengusut kasus sesuai UU tersebut. Kalau TP3 mempermasalahkan sikap pemerintah yang percaya hasil Komnas HAM dan menjalankan pula rekomendasinya, maka salahkanlah siapa pembuat UU, dan itu salah satunya Amien Rais.
Jawaban TP3 sebagai berikut:
Pertama, ada dua UU terkait HAM yang dibentuk periode Amien Rais jadi anggota DPR/MPR, yaitu UU HAM No 39/1999 dan UU Pengadilan HAM No 26/2000.
Untuk kasus pembunuhan enam laskar berkategori kejahatan kemanusiaan tersebut, Komnas HAM yang menerima “PERINTAH” Presiden, mestinya menggunakan UU No 26/2000. Tapi justru Komnas HAM dengan sengaja memilih menggunakan UU No 39/1999.
Maka jelas kesimpulan dan rekomendasi tidak valid, bermasalah, dan tidak berlaku untuk penuntasan kasus sesuai proses hukum selanjutnya.
Kedua, secara umum penyimpangan atas penerapan berbagai ketentuan UU sudah kerap terjadi, meskipun ketentuan dalam UU tersebut sudah sesuai UUD 1945, kepentingan publik dan berbagai azas pembentukan UU. Hal terjadi pula dalam pengusutan kasus pembunuhan enam laskar.
UU yang disebutkankan Mahfud sudah berisi berbagai ketentuan yang sesuai konstitusi dan azas-azas yang dipersyaratkan. Masalahnya, pengguna UU, terutama pemerintah dan Komnas HAM menyimpangkan implementasinya. Lalu penyimpangan ini ditutupi dengan menyalahkan para pembuat UU.
Maka sesuai keinginan dan rekayasa Mahfud, terjerat dan terseretlah Amien Rais yang saat itu menjadi anggota DPR/MPR.
Ketiga, kegiatan yang telah dilakukan Komnas dalam mengusut kasus dan membuat rekomendasi adalah Pemantauan, bukan Penyelidikan. Jika demikian, bagaimana bisa proses hukum lanjutannya berstatus penyidikan atau penuntututan? Selain itu, sudahlah menggunakan UU yang salah, Komnas HAM pun membuat rekomendasi yang melampaui kewenangan.
Bagaimana bisa rakyat mempercayai penyelenggara negara dan Komnas HAM, jika proses hukum yang dijalankan bermasalah sejak awal, in the first place?
Keempat, ada hal-hal lain mengapa TP3 menganggap Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM bermasalah dan tidak kredibel. Salah satunya tentang perlunya persetujuan Pengadilan sebelum Komnas HAM melakukan fungsi pemantauan, seperti diatur dalam Pasal 89 Ayat 3 UU No.39/2009.
Kalau belum memperoleh persetujuan Pengadilan, maka Komnas HAM sangat Nyata telah melanggar ketentuan UU. Jika proses “Pemantauan” Komnas HAM saja sudah bermasalah, bagaimana publik akan percaya dengan hasil dan rekomendasinya?
Karena itu, agar konsisten dengan Pembukaan UUD 1945, di mana negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pemerintah dituntut untuk konsisten menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pancasila, konstitusi dan UU yang berlaku.
Rakyat harus diberi informasi dan penjelasan yang objektif, transparan dan mencerdaskan, serta jauh dari konten yang distortif, spekulati, tendesius dan sarat rekayasa. UU yang digunakan harus sesuai dengan konteks dan azas penegakan hukum terhadap kasus yang sedang diusut, serta jauh dari direkayasa guna memenuhi kepentingan sempit oknum-oknum penguasa!
TP3 menuntut agar rekayasa dan manipulasi proses hukum, termasuk “memanfaatkan” Komnas HAM secara melanggar hukum dalam penuntasan kasus pembunuhan ini harus dicegah.
Sebaliknya, Komnas HAM sebagai lembaga independen yang dibentuk sesuai perintah UU dan amanat konstitusi, mestinya berfungsi melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat, bukan justru terlibat atau tunduk pada kepentingan oknum-oknum kekuasaan.
Kepada Mahfud, TP3 berharap bisa membuat pernyataan yang akurat, objektif, fair, serta tidak distortif dan tendensius. Langkah ini minimal bisa dimulai dengan konpres yang tidak sepihak.
Oleh: Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3
« Prev Post
Next Post »