Legenda Tentang Asal Usul Orang Sumatera dan Kelembagaannya (Bag. 1)

Legenda Tentang Asal Usul Orang Sumatera dan Kelembagaannya (Bag. 1)
Tak lama setelah banjir besar, yang disebut "kiamat Sugro (Kiamat Kecil), jumlah putra-putri Nabi Nuh bertambah banyak, dan tiga orang yang tertua diantara mereka telah mengambil alih kekuasaan diatas keturunan lainnya. (Ilustrasi).
TAK
lama setelah banjir besar, yang disebut "kiamat Sugro (Kiamat Kecil), jumlah putra-putri Nabi Nuh bertambah banyak, dan tiga orang yang tertua diantara mereka telah mengambil alih kekuasaan diatas keturunan lainnya. Akibat semakin besarnya jumlah keluarga membuat mereka memutuskan untuk berpisah dan secara bertahap menyebar ke seluruh dunia.

Yang pertama di antara mereka, bernama Maharadja Alif, pindah ke utara, tempat asal orang kulit putih.  Yang kedua, Maharadja Depang, menetap di Arabia, dan yang ketiga Si Mahadiradja berlayar bersama istrinya yang bernama Putri Ambun Sani ke Sumatra.

Pulau ini sebagian besar masih terendam air, daratan yang bisa ditempati hanyalah puncak gunung-gunung yang menjulang  tinggi di atas ombak;  di puncak Gunung api Marapi inilah tempat pendaratan Si Mahadiradja dan istrinya.

Keturunan pertama pasangan ini adalah enam pria dan sembilan wanita; mereka bernama Njetelang, Bandhara, Nji' Toembali, Bidjo Radja, Nan Tan Ditjo dan Iskander Moeda.  Secara bertahap masyarakat beserta anak-anaknya menuruni Merapi menuju Paninjawan yang terletak di kaki gunung api tersebut dan dari sana menuju Paningahan (Melalo Padang Pandjang).

Dari penduduk pertama Sumatera ini, tiga pria dan tiga wanita merupakan keturunan utama. Para lelaki bernama : Ketoemanggoengan (yang tertua), Parapati (yang tengah), dan Sami Nan Haroen (yang termuda). Sementara para wanitanya adalah: Si Ami Manna, Si Gando Pomi dan Tjinde Lewatan.

Ketiga laki-laki dan ketiga perempuan ini kawin sebagai berikut: Ketoemanggoengan dengan Tjinde Lewatan, Parapati dengan Gando Pomi dan Sami Nan Haroen dengan Si Ami Manna. 

Dari perkawinan inilah lahir keturunan yang namanya dinisbatkan menjadi nama - nama suku yaitu :

1. Tjinde Lewatan adalah ibu dari seorang putri bernama si Kumbang.  Dari Si Kumbang lahirlah Malayu.  
2. Gando Pomi memiliki tiga orang putri yang masing-masing memberikan nama sukunya yaitu, Bodi, Caniago, dan Sepanjang.
3. Si Ami Manna juga mempunyai tiga orang putri yang bernama Jamba, Si Kotto dan Piliang. Dari yang terakhir turunlah Si Guci. Dari Si Guci turunlah Pisang, dan dari Pisang lahirlah Simabur, Tanjung dan Paya Badar.

Dengan demikian ada tujuh suku utama :
1. Sikumbang
2. Bodi
3. Caniago
4. Sepanjang
5. Jamba
6. Koto
7. Piliang
dan di antara ketujuh suku ini mereka yang merupakan keturunan Si Ami Manna menduduki peringkat pertama, karena dilahirkan dari nenek moyang tertua.

Akibat pertambahan penduduk yang pesat, maka timbul kelangkaan ruang, yang kemudian menimbulkan perpecahan satu sama lain, sehingga hanya dengan satu peristiwa perpecahan itu berubah menjadi pertikaian yang serius.  Berikut Kejadian-nya.

Pada suatu perburuan rusa yang dilakukan bersama-sama oleh anak-anak Ketoemanggoengan, Parapati dan Sami Nan Haroen, salah seorang anak dari Parapati digigit oleh anjing milik Sami Nan Haroen yang dipinjamnya dari Ketoemanggoengan.  Parapati ingin menuntut membalas dengan melukai anak Sami Nan Haroen.

Terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, karenanya mereka sepakat untuk menyerahkan masalah tersebut kepada keputusan Ketoemanggoengan.  Mendengar tuntutan Parapati, ia pun menyatakan, jika pembalasan terhadap mereka harus dilakukan dengan cara mata ganti mata, gigi ganti gigi, maka suku mereka tidak akan pernah bisa berkembang.  Maka ditetapkanlah sistem balas dendam (hukum) dapat dilakukan dengan sistem ganti rugi dan denda.  Beliau juga menuliskan tiga ketentuan pokok Oendang Oendang (Kitab Undang-Undang) pada kesempatan tersebut, yaitu:

1. Mencancang, memapas, artinya: siapa yang menyakiti orang lain harus menyembuhkannya
2. Berhutang, berbayar, artinya: siapa yang punya hutang harus membayar
3. Membunuh, membanggong, artinya: yang harus membangkitkan orang mati.

Yang terakhir ini merupakan asal muasal dari "Banggong", yang akan segera kita lihat apa makna sebenarnya.

Meski putusan Ketoemanggoengan diterima sebagai keputusan hakim, namun kejadian ini tetap saja menimbulkan pertikaian sengit.

Karena itu, ketiga leluhur tersebut sepakat untuk tidak lagi hidup berdekatan satu sama lain, melainkan menyebar bersama sukunya ke suatu bagian pulau.  Mereka mendaki Merapi dan dari puncak gunung itu mereka membagi pulau di antara mereka sendiri.

Ketoemanggoengan mengambil bagian utara, Parapati bagian timur dan Sami Nan Haroen bagian selatan.  Penyebaran dan relokasi ini terjadi secara bertahap.

Ketoemanggoengan dan sukunya secara bertahap berpindah dari Pariangan ke Bataga', Batu palano, Gunung Sirabungan, Gunung Passaman (Ophir), Gunung Sidoa-doa di Mandailing, dan seterusnya ke Aceh.

Parapati bergerak dari Pariangan ke Sungai Tarap, Tanjung Alam, Sariek Lawas, Batu Ampat, Lima Puluh kota, Durian Ditakuk Radja, Siluka Pinang Tungga, Pisau Hanyut dll, ke pantai timur sampai ke laut, dan

Sami Nan Haroen pindah dari Pariangan ke Sungai Jambu, Lima kaum, Pagaruyung, Singkarak, Saning Baka, Kubung, XIII kotta's, Tjindong Laut Padang, Sunur Ulakan, sampai ke Bengkulu, Jambi dan Palembang.

... bersambung ...

* Gambar ilustrasi : https://id.pinterest.com/pin/1132514637538404758/
* Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 21, 1859 (1e deel), no 5

* Penulis : marjafri (pendiri dan ketua komunitas anak nagari)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »