Pakar Komunikasi Politik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Anang Sujoko, menilai eksistensi Jokowi yang masih begitu terasa bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami. |
Keberadaan Jokowi dalam dinamika politik pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pun memunculkan spekulasi dari akademisi, apakah ini bagian dari strategi politik, atau gejala post power syndrome?
Pakar Komunikasi Politik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Anang Sujoko, menilai eksistensi Jokowi yang masih begitu terasa bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami.
Ada faktor yang secara sengaja mengelola citra mantan presiden tersebut agar tetap relevan dalam percaturan politik nasional.
“Pasti ada seorang manajer atau ‘sutradara’ di balik Jokowi. Apalagi jika kita melihat posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming, banyak kritik yang dilontarkan dari banyak pihak. Seolah bukan orang yang layak sebagai pejabat apalagi levelnya Wapres,” ujar Prof. Anang, Sabtu (1/2/2025).
Menurut Prof. Anang, Gibran yang belum memiliki pengalaman panjang dalam pemerintahan sering menjadi sorotan, terutama dalam gaya berpidato, kepemimpinan dalam rapat, hingga dalam kunjungan kerja. Banyak pihak yang meragukan kemampuannya sebagai seorang wakil presiden.
“Ketika posisi Wapres ini dianggap belum cukup kuat, maka diperlukan strategi komunikasi politik. Jika Jokowi tidak bisa secara langsung memberikan dukungan kepada Gibran—yang notabene anak kandungnya—maka yang bisa dilakukan adalah tetap menjaga eksistensi dirinya,” jelasnya.
Strategi ini, lanjutnya, bertujuan agar para pendukung Jokowi tetap aktif dan secara otomatis turut mengamankan posisi Gibran dalam pemerintahan.
“Ketika Jokowi masih ada, yang terjadi, ayo pengikut Jokowi mengamankan Wapres,” tambahnya.
Terlebih baru-baru ini, dilansir dari Tempo, Menteri Koperasi RI, Budi Arie telah menyambangi kediaman Jokowi di Solo, Jawa Tengah, pada Selasa (28/1/2025) lalu.
Dari pertemuan tertutup tersebut, pria yang menjabat posisi Ketua pro Jokowi (Projo) ini mengaku hanya sekadar bersilaturahmi dengan mantan presiden 2 periode tersebut.
Namun di sisi lain, Prof. Anang juga menyoroti kemungkinan keterlibatan Jokowi ini bukan sekadar strategi politik, melainkan juga gejala post power syndrome, yakni suatu kondisi di mana mantan pemimpin sulit melepaskan diri dari pusat kekuasaan.
“Kekuasaan itu sifatnya adiktif, apalagi jika seseorang telah menjabat selama dua periode. Salah satu gejala post power syndrome yang paling akut adalah ketika seorang mantan pemimpin merasa kehilangan pengakuan dari publik,” katanya.
Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, tampil di hadapan publik melalui berbagai kegiatan menjadi salah satu cara untuk tetap mendapatkan legitimasi sosial dan politik.
“Mungkin dengan style seperti apa atau bahkan dengan kunjungan-kunjungan itu. Ini bahkan juga diekspose oleh teman-teman media, semakin menguatkan ada sinergi itu,” jelasnya.
Fenomena ini, menurut Prof. Anang, bukan sesuatu yang baru dalam politik. Banyak pemimpin yang setelah lengser tetap ingin mempertahankan eksistensinya, baik dengan cara membangun jaringan politik baru maupun dengan tetap menjaga loyalitas pendukungnya. (*)
Sumber: Lenteratoday.com
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »