Pasca putusan Perkara No. 90/PUU-XI/2023, pengamat menyebut MK RI terjerembab kekubangan lumpur nista. |
Kini bola panas itu dipercayakan publik di pundak prof. Jimly Asshiddiqie dan kawan-kawan (dkk), untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan adanya pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh komisioner MK RI.
"Publik berharap penuh majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK MK RI) mampu mengawal tuntas adanya dugaan pelanggaran etik berat, "ujar pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen kepada wartawan di Jakarta (3/11).
Ketua MK yang pertama Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
"Mantan ketua MK pertama itu diharapkan dapat menuntaskan tragedi yang terjadi di MK RI sekarang dengan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat dan rasa keadilan sosial yang beradab, "ucapnya.
Keputusan yang disinyalir sarat dengan muatan kepentingan politik keluarga presiden Joko Widodo atau Jokowi, hingga MK sekarang diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga Jokowi.
"Bukan hanya isapan jempol belaka, karena amar putusan MK itulah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara secara keseluruhan, "beber Silaen.
Dikatan Silaen, cukup berasalan kuat dan jelas, bahwa MK RI membuat amar putusan melebihi kewenangannya. Dan itu terjadi jelang pemilu yang sebentar lagi akan dilangsungkan.
Jika jauh- jauh hari mungkin saja efek negatifnya tidak sedahsyat saat ini. Pembacaan putusan jelang injury time pendaftaran peserta pasangan calon Pilpres.
Sekarang bola panas ada di tangan MK MK RI, apakah MK MK RI tersebut dapat berdiri tegak dan kokoh dalam memutuskan dugaan adanya pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Anwar Usman ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan Pamannya Gibran itu.
"Semua pemerhati hukum dan masyarakat awam menanti hasil kerja keras MK MK untuk memutuskan dan menetapkan hasil-hasil pemeriksaan berdasarkan aduan atau laporan masyarakat adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pimpinan MK RI dkk. Seyogyanya sangat terlihat jelas dan vulgar itu, "ungkap aktivis organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) itu.
Pertanyaan selanjutnya, "Apakah prof Jimly Asshiddiqie dkk dapat dipercaya dan tidak 'masuk angin' untuk memutuskan perkara yang penuh dengan rekayasa tersebut? Publik masih menunggu dan sembari harap- harap cemas apakah keputusan MK MK RI memberikan keadilan atas hancurnya marwah dan integritas MK RI itu, "tanya Silaen.
Menurut pengamat politik Samuel F Silaen, "mendorong partai politik bersama anggota legislatifnya harus memikirkan bagaimana caranya untuk melakukan perbaikan yang signifikan terhadap kekuasaan presiden dimasa yang akan datang siapapun itu, agar tidak sampai kebablasan, seperti saat ini.⁷
Kritik Silaen, kerusakan yang terjadi diakhir masa jabatan presiden Jokowi, dapat dikatakan akibat tidak adanya check and balance terhadap jalannya roda pemerintahan. Karena rival di kontestasi politik Pilpres justru bergabung ke dalam pemerintahan yang menang atau berkuasa, sehingga terjadi cawe-cawe.
Akhirnya demokrasi jadi terseok-seok dan mati suri, inilah momok yang menghancurkan semua sendi- sendi alam demokrasi Indonesia.
"Sehingga sekarang publik menyesal penggulingan orde Baru. Karena kekacauan 5 tahun terakhir melebihi 32 tahun presiden Soeharto berkuasa, "tutur mantan fungsionaris DPP KNPI itu.
"Apalagi kebanggaan masyarakat Indonesia dengan orde reformasi ini? Tidak ada, kecuali kebebasan berpendapat dan berserikat tok. Hanya itu tidak lebih, permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dijadikan alasan kuat untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto. Justru sekarang KKN lebih parah dan sangat vulgarnya, "sebut Silaen.
Kasihan rakyat kecil yang menanggung beban terbesar atas praktek- praktek kotor penguasa zolim. Rakyat Indonesia sangat muak atas drama- drama yang diperankan pejabat negara yang penuh sandiwara.
"Seolah-olah mereka pelayan rakyat atau abdi masyarakat Indonesia, nyatanya bukan!, yang terjadi untuk memuaskan syahwat politik penguasa, tandasnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »