Pakar: Status Tersangka Kabasarnas Tak Otomatis Gugur

BENTENGSUMBAR.COM - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa status tersangka yang ditetapkan atas Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi tidak serta-merta gugur sehubungan dengan kisruh penanganan kasusnya.

"Menurut saya tidak menggugurkan, tinggal mengoordinasikan saja," kata Bivitri ditemui Kompas.com di bilangan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023). 

"Menurut saya, soal dipegang oleh siapa itu kan hanya persoalan koordinasinya saja," tambahnya. 

Bivitri menjelaskan, penetapan status tersangka ini sudah didahului dengan gelar perkara yang di dalamnya juga mengekspose kecukupan alat bukti.

"Secara hukum acara pidana sudah terpenuhi. Pegangan kita itu saja," ucapnya.

Argumentasi serupa sebelumnya disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. 

Ia menjelaskan, merujuk pada Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 

Alex mengakui, secara administratif, penetapan status hukum Henri dan bawahannya yang berstatus anggota militer menjadi wewenang pihak Puspom TNI, setelah menerima laporan dari KPK. 

Namun, Alex mengungkapkan, dalam gelar perkara kasus ini, Puspom TNI ikut terlibat.

Menurutnya, dalam forum itu, semua pihak mendapat kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat mereka dan tidak keberatan atas hasil ekspose yang berujung pengumuman penetapan tersangka oleh KPK, termasuk tersangka dari unsur militer. 

Sebelumnya, Henri sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka suap pengadaan alat deteksi korban reruntuhan hingga Rp 88,3 yang diduga dilakukan pada 2021-2023.

Namun, polemik muncul setelahnya. Puspom TNI merasa, Henri yang berstatus prajurit TNI aktif mestinya diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK, kendati kepala Basarnas adalah jabatan sipil. 

KPK minta maaf dan akhirnya malah menyerahkan kasus ini ke Puspom TNI. 

Puspom TNI mengeklaim akan melakukan penyidikan terbuka, yang berarti mengulang lagi proses pengusutan dari awal sebelum penetapan tersangka. 

Bivitri menegaskan, KPK sudah sah dan bertindak sesuai kewenangan. 

"Menurut saya teruskan saja status tersangkanya. Bicara hukum kita bicara fakta, waktu ekspose (gelar perkara) kan polisi militer sudah dilibatkan, saya baca notulensinya. Jadi mereka bukannya tidak tahu, tapi ini ada soal politiknya," ungkap pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu. 

Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu adalah pihak yang "berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum". 

Namun, Puspom TNI bersikeras bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, proses hukum atas prajurit aktif merupakan ranah mereka, terlepas dari tindak pidananya. 

Bivitri menegaskan, dalam hukum, terdapat adagium bahwa peraturan yang baru harus lebih diutamakan ketimbang yang lama. 

Dalam hal ini, maka atas pengusutan kasus korupsi unsur militer, UU Peradilan Militer dapat dikesampingkan dibandingkan UU KPK yang terbit lebih anyar. 

Apalagi, Pasal 47 ayat (3) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur, prajurit aktif yang duduk di beberapa lembaga sipil yang diperbolehkan, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu. 

Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer" dan harus dibawa ke peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum.

Sumber: Kompas.com

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »