Membandingkan Naskah di Tatar Sunda dengan Naskah Syiir Nyai Madura

INDONESIA kaya dengan manuskrip-manuskrip. Di dalam manuskrip itu tersimpan kebijaksanaan serta bukti dari sejarah bangsa indonesia ini telah diambil oleh bangsa lain yang kemudian menjadi kekayaan mereka. 

Padahal naskah-naskah itu sebagai bukti sejarah yang otentik dan orijinal yang menyimpan pengalaman, pikiran, dan perasaan para leluhur nusantara.

Namun demikian, manuskrip-manuskrip yang masih tersimpan dan terpendam di daerah-daerah di indonesia dan selamat dari tangan-tangan penjajah masih sangat sangat banyak.

Pada naskah yang ada di tatar sunda ini membahas tentang syi’iran dengan pola rima syair arab. Syi’iran merupakan sebuah tradisi yang tidak asing lagi di dunia pesantren.

Selain dipergunakan untuk menyampaikan buah pikiran yang umumnya berupa ajakan, syi’iran digunakan pula sebagai media untuk menyampaikan ajaran agama islam, khususnya kepada para santri dan umumnya kepada masyarakat sekitar pesantren.

Penggunaan syi’iran sebagai media pendidikan dipandang sangat efektif karena lebih mudah diingat dan tidak membebani santri (masyarakat) dengan situasi dan pola formal sebagaimana proses pembelajaran pada umumnya. 

Karena sering dinyanyikan atau diperdengarkan, syi’iran dengan sendirinya dapat dihafalkan di luar kepala tanpa keterpaksaan. 

Melalui syi’iran, diharapkan para santri serta masyarakat umum tergugah kesadarannya yang disenandungkan melalui syi’iran tersebut.

Pada naskah syiir nyai madura ini membahas tentang isi dari naskah tersebut yang pengarangnnya itu Ny. Hj. Wardatun serta corak dari penulisan tersebut yang dimana naskah ini berbahasa madura. 

Dalam naskah ini menggunakan teori tekstologi dengan pendekatan filologis. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pemerian Naskah
2. Kritik teks
3. Terjemahan (jika perlu)
4. Analisis isi

Ny. Hj Wardatun adalah pengarang dari naskah syiir nyai madura ini. Beliau lahir pada tanggal 27 Juli 1955 dan beliau ini adalah pengasuh pondok pesantren Annuqayah daerah Al- Furqon, Sabajarin.

Dalam tradisi pesantren, guru perempuan atau Nyai itu menjadi pengasuh bagi santri-santri perempuan dan peran Nyai ini dalam pendidikan Islam di pesantren sangatlah besar.

Berikut adalah naskah karya Ny. Hj. Wardatun yang disalin oleh beberapa peneliti kedalam bahasa indonesia:

Bismillahirrahmanirrahim

Sungguh beruntung orang tuanya  Menyekolahkan anak-anaknya
Yang belum lulus kuliahnya           Jangan nuru-buru menikahkannya

Tidak boleh “pasrah total”             Orang tua pada anak-anaknya
Lebih wajib orang tuanya               Mengingkatkan daripada gurunya

Dari semua tingkah lakunya           Supaya tidak ada penyesalan
Kalau tidak tegas pada anaknya

Takut ada akhirnya
Sebelum berangkat ke sekolah       Jangan lupa membaca
“Bismillah”

dari analisis pada naskah madura ini islam di Madura bisa maju, melalui kemajuan ilmu dan pendidikan generasi mudanya.

Point pertama, yaitu wajah islam di Madura penuh dengan penyemaian dan penjagaan atas akhlak mulia di kalangan generasi mudanya.

Point kedua, yaitu ajakan untuk serius dan bersungguh-sungguh dalam mengurusi anak: (a) pendidikannya, (b) tingkah lakunya, (c) pergaulan, dan  (d) keselamatan fisiknya. 

Dari pembahasan mengenai naskah syiir Nyai Madura ini, dapat disimpulkan: pertama, isi naskah Syiir berbahasa Madura dari Ny. Hj. Wardatun adalah pesan-pesan moral kepada para wali santri. Juga berisi tentang kontekstualisasi akhlak di era informasi.

Kedua, corak penulisan naskah syiir berbahasa madura dari Ny. Hj. Wardatun adalah dalam bentuk syiir, menggunakan bahasa Madura yang halus (level tiga).

Tampak sekali kasih sayang dan kepedulian Ny. Hj. Wardatun kepada para santri dan wali santri. Berpijak pada paham Islam Wasathiyah, Islam jalan tengah yang anti ekstrim, khususnya dalam aspek akhlak.

Nah, dari kedua naskah diatas itu membahas tentang syiir yang dimana sama-sama isinya itu mengarah ke para santri atau wali santri terkhususnya yang ada di Pesantren dan sekitarnya.

Kedua naskah tersebut membahas tentang wejangan, pesan-pesan moral dan sebagainya dalam konteks keislaman. 

Cuma yang berbeda dari naskah ini yaitu salah satu naskah memakai pola rima syair aran dan satunya lagi syiir berbahasa madura. 

Serta pada naskah pertama lebih fokus menjelaskan hubungan naskah yang ada di Tatar Sunda dengan pola rima Syair Arab sedangkan naskah yg kedua lebih ke isinya dan corak penulisannya. 

*Ditulis Oleh: Annisa Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »