Demokrat Respons Megawati, Tegaskan SBY Menang Bukan karena Tampang

BENTENGSUMBAR.COM - Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Rachland Nashidik menanggapi pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri soal 'pemimpin ganteng' yang lebih dipilih warga dan akhirnya menjadi presiden saat dirinya maju di Pilpres. 

Demokrat menyebut kekalahan Megawati saat berkompetisi dengan Ketum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan perkara tampang.

"Saya kira, kalau mau sedikit lebih serius membahas kekalahan Mega dari SBY, penyebabnya bukan perkara tampang, tapi pertama-tama adalah perkara jenis kelamin," kata Rachland dikonfirmasi, Minggu (25/6/2023).

Rachland mengatakan hal ini berkaitan dengan masyarakat yang kala itu masih patriarkis, belum menerima sosok perempuan sebagai pemimpin. 

Padahal, kata dia, banyak perempuan yang mumpuni untuk memimpin bangsa.

"Persisnya, masyarakat patriarkis di Indonesia masih lebih banyak yang belum dapat menerima perempuan sebagai Presiden. Padahal sebenarnya, makin ke sini, terbukti bukan saja makin banyak perempuan yang unggul, tapi juga mampu mengungguli laki-laki," ujar Rachland.

Rachland mengatakan Megawati adalah seorang pendekar reformasi. 

Ia mengapresiasi turunnya tingkat kemiskinan di masa pemerintahan Mega sebagai presiden.

"Ibu Mega sendiri adalah pendekar reformasi. Dan kalau mau jujur, prestasi pemerintahannya, meski hanya singkat, sebenarnya melebihi prestasi Pak Jokowi, misalnya dalam menurunkan debt to equity ratio dan angka kemiskinan," ujar Rachland.

Meski demikian Rachland merinci beberapa faktor yang membuat Mega kalah suara dari SBY. 

Selain masyarakat yang masih ditawan unsur patriarki, Mega juga dinilai terlalu percaya diri.

"Tapi beliau, Ibu Megawati, lahir melampaui zamannya. Meski misalnya beliau mampu menjadi Presiden yang hebat, rakyat Indonesia yang masih ditawan oleh kultur patriarkis belum siap menerimanya. Sayang sekali, memang," kata Rachland.

"Hal lain yang membuat beliau kalah adalah rasa percaya diri yang terlalu besar. Kebanggaan beliau sebagai putri dari Soekarno, Presiden pertama RI dan Pahlawan Nasional, yang kerap beliau sampaikan dalam berbagai cara, namun selalu dengan terlalu berterus terang, telah sedemikian rupa menghasilkan persepsi keliru yang kuat di kalangan masyarakat," sambungnya.

Rachland menilai dengan anggapan itu, publik akan menilai Mega dan partainya seperti memiliki Indonesia. 

Ia menyebut Mega dan PDIP seolah-olah yang mengatur sendiri jalannya pemerintah tanpa melibatkan banyak pihak.

"Yakni, seolah-olah Ibu Mega dan PDIP sombong, merasa 'paling' sendiri, paling Pancasila, misalnya, dan tidak membutuhkan kerjasama dengan pihak lain," ucap Rachland.

"Lebih dari itu, Ibu Mega dan PDIP dinilai seolah-olah memperlakukan Indonesia sebagai pekarangan dari rumah pribadinya, yang bisa beliau atur-atur sendiri," imbuhnya.

Rachland mengatakan persepsi Megawati dan PDIP yang merasa paling sendiri bisa saja sudah mengakar di masyarakat. 

Meski belum benar kebenarannya, tetapi bisa saja saat itu publik ingin memilih pemimpin asalkan bukan PDIP.

"Tentu saja persepsi ini belum tentu benar. Tapi sebagai fakta sosial, persepsi itu hidup dan tidak bisa diremehkan. Malah bisa mengundang sentimen 'Asal Bukan Merah', dalam Pemilu mendatang," katanya.

Lebih lanjut, Rachland menilai SBY mampu memenangkan Pemilu saat itu lantaran memiliki pengalaman yang baik. 

Selain cerdas, kata dia, SBY juga dinilai lebih cakap untuk menyaingi Megawati.

"Apalagi, rival terkuat yang mengalahkannya bukan saja seorang lelaki dan ganteng, tapi juga cerdas, berpengalaman dan kharismatik. Pendeknya, dipandang oleh pemilih jauh lebih cakap untuk menjadi Presiden dibanding Ibu Mega," tutur Rachland.

"Jadi, kalau kita mau mengambil pelajaran dari masa lalu, bukan sekadar membicarakannya dengan hati kesal, itulah bahwa bagi negeri sebesar dan se-kompleks Indonesia, dibutuhkan para pemimpin yang terbuka untuk bekerjasama dengan semua dan setiap warga bangsa," lanjutnya.

Sebelumnya, Megawati Soekarnoputri mengatakan memimpin negara tidaklah mudah. 

Untuk itu dia meminta rakyat tak memilih pemimpin berdasarkan parasnya saja.

Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika hendak maju kembali sebagai presiden. 

Kala itu, kata Megawati, ada seorang ibu-ibu yang menyatakan ingin memilih pemimpin ganteng.

"Kalau mau milih pemimpin jangan hanya lihat tampangnya. Aduh Ibu suka pusing. Ada dulu ya, kan waktu dulu Ibu mau jadi presiden lagi, terus ada ibu-ibu bilang begini, 'Aduh Ibu, maaf. Sebetulnya saya mau milih Ibu lagi, tapi saya kok kepingin milih yang ganteng'," kata Megawati di acara Puncak Bulan Bung Karno, Sabtu (24/6/2023).

Untuk diketahui, pada 2004, Megawati mencalonkan diri sebagai presiden dan Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presidennya. 

Dalam putaran kedua Pemilu 2024, Megawati dan Muzadi berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). 

Dalam Pilpres tersebut Mega kalah dengan SBY yang kini merupakan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Lalu pada periode Pilpres berikutnya, 2009, Mega kembali mencalonkan diri sebagai capres dengan Prabowo sebagai wakil presidennya. 

Kontestan paslon lainnya adalah SBY dan Boediono, lalu JK-Wiranto. Megawati kembali kalah dengan SBY-Boediono.

Sumber: detikcom

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »