BENTENGSUMBAR.COM - Masih rendahnya indeks kegemaran membaca masyarakat Indonesia perlu mendapat perhatian semua pihak. Sehingga perlu adanya penanaman budaya literasi yang dimulai sejak anak masih usia dini agar kemampuan literasi anak Indonesia dapat berkembang menjadi lebih baik.
Demikian terungkap pada Seminar Budaya Matrilineal, Sabtu (10/9/2022) di aula Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Sumatera Barat, Jalan Raya Belimbing No. 16 A Kuranji, Kota Padang. Seminar bertemakan “Literasi dan Konstruksi Peran Dalam Merawat Matrilineal” dibuka Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Berat Drs. Syaifullah, MA.
Turut memberikan sambutan Kepala BPNP Sumbar Undri, S.S, M.Si, Sekretaris Satupena Sumbar Armaidi Tanjung, S.Sos, M.A, dan Ketua Yayasan Sako Ir. Afdal Tansin, M.Si Dt. Rajo Indo Alam.
Seminar menghadirkan narasumber Dr. Hasanuddin, M.Si (Wakil Ketua Satupena Sumbar/FIB Universitas Andalas), Dr. Elvi Susanti, M.Pd (UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo (UIN IB Padang) dan Rois Leonard A, S.Sos, M.Si (BPNB Sumbar) dengan moderator Dr. Sri Setyawati, MA (FISIP Unand).
Narasumber Elvi Susanti menyebutkan, hasil kajian Perpustakaan Nasional RI tahun 2016-2019 mengungkapkan indeks membaca masyarakat Indonesia masih rendah. Begitu juga hasil studi The World’s Most Literate Nation (WMLN) 2016 menunjukkan peringkat membaca orang Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara yang diteliti.
“Kendala yang dihadapi orang tua dalam menyediakan Home Literacy Environment (HLE) yaitu minat anak, ketersediaan waktu orang tua, dan kelengkapan fasilitas literasi yang disediakan di rumah. Orang tua merupakan kunci utama dalam proses implementasi kegiatan HLE, sedangkan anak merupakan sasaran utama untuk dapat terlaksananya kegiatan tersebut,” kata Elvi.
Elvi juga mengungkapkan penyebab hilangnya 139 bahasa daerah di Indonesia. Yakni, pertama globalisasi yang membawa dampak positif dan negatif.
Generasi muda larut dalam dunia media sosial yang banyak menggunakan bahasa asing. Kedua, adanya etnis mayoritas dan minoritas, dimana kelompok minoritas harus pandai menempatkan diri dengan menggunakan bahasa mayoritas.
Ketiga, kurangnya partisipasi generasi muda. Keempat, crossbreeding perkawinan silang antar-etnis, terlebih etnis mayoritas dan minoritas.
Kelima, psikolinguistik, lebih keren memakai bahasa Indonesia dan bahasa asing. Sehingga bahasa daerahnya semakin terpinggirkan dan jarang dipakai.
Keenam, kebijakan pemerintah. Seperti tidak adanya ruang khusus diberikan kebijakan untuk pemakaian bahasa daerah.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Syaifullah mengatakan, budaya matrilineal di Minangkabau ini memang unik.
Kabarnya matrilineal ini juga ada pada suku di China dan di India. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya matrilineal ini juga menghadapi tantangannya.
Untuk itu, juga dibutuhkan budaya literasi sehingga budaya tersebut tetap bertahan.
“Dengan kegiatan seminar ini mudah-mudahan semakin memperkuat pengetahuan budaya matrilineal di Minangkabau,” kata Syaifullah.
Kepala BPNB Undri menambahkan, Seminar Budaya Matrilineal ini dilaksanakan menjelang pelaksanaan Festival Matrilineal pada Desember 2022 dan menjelang pelaksanaan Internationl Minangkabau Literacy Festival (IMLF) yang dilaksanakan Satupena Sumbar pada 22-27 Februari 2023 mendatang.
Ketua Panitia Seminar Hasanadi, S.S melaporkan, seminar diselenggarakan BPNB bekerja sama dengan Yayasan Satupena dan Yayasan Sako yang peduli dengan budaya Minangkabau.
Seminar dihadiri 100-an peserta yang berasal dari Satupena, Yayasan Sako, mahasiswa, dan tamu dari Provinsi Aceh. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »