BENTENGSUMBAR.COM - Sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 terus dipergunjingkan usai Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara pada 24 Februari lalu.
Teranyar, Sekjen Persatuan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) Adian Napitupulu turut mengurai pengetahuannya tentang serangan tersebut. Khususnya tentang seberapa peran Soeharto kala itu.
Adian menjelaskan bahwa pada agresi militer Belanda kedua, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memilih tetap bertahan di Yogyakarta yang sejak 4 Januari 1946 menjadi ibukota negara.
Berikutnya Soekarno dan Hatta ditangkap pada 19 Desember 1948 saat Belanda berhasil kuasai Yogyakarta. Kemudian Soekarno Hatta dibuang Belanda ke Brastagi hingga Bangka.
Beberapa waktu sebelum Soekarno dan Hatta ditangkap, mereka sempat memandatkan pada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Soekarno dan Hatta juga mempersiapkan rencana antisipasi kemungkinan terburuk dengan mempersiapkan Exile Goverment (Pemerintahan dalam pengasingan) di New Delhi India yang dipimpin oleh A.A Maramis dan Dr Soedarsono jika PDRI tidak berjalan.
“Pada 22 Desember 1948, Syafruddin Prawiranegara kemudian membentuk PDRI,” urainya kepada wartawan, Rabu (9/3).
Berikutnya, sambung Adian, Syafruddin Prawiranegara melalui PDRI membagi wilayah Sumatera menjadi 5 pemerintahan militer, namun hingga awal Mei 1949 kabinet PDRI tidak kunjung terbentuk.
Dengan demikian, maka secara de facto dan de jure Sultan Hamengkubuwono IX tetap menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.
Fakta sejarah bahwa Sultan Hamengkubuwono IX selain Raja Yogyakarta juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan saat itu dikuatkan juga oleh kehadiran Sultan Hamengkubuwono IX dalam perundingan Roem Roeyen pada April 1949.
“Dalam perundingan itu, dengan tegas Sultan Hamengkubuwono sebagai Sultan dan Menteri Pertahanan mengatakan bahwa “Jogjakarta is de Republiek Indonesie”,” sambung politisi PDI Perjuangan itu.
Singkatnya, Adian menilai kicauan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang menyebut akun Humas Jogja @humas_jogja keliru justru salah besar.
Adapun pernyataan Fadli Zon waktu itu berbunyi, “Keliru @humas_jogja. Menteri Pertahanan ketika itu dirangkap Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sbg Kepala Pemerintahan, Sjafroeddin Prawiranegara. Kabinet Hatta sdh berakhir dengan penangkapan Soekarno-Hatta-Sjahrir-H Agus Salim.
Dibentuklah Kabinet PDRI.”
Sementara bunyi kicauan Humas Jogja adalah, “Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Menteri Pertahanan Indonesia sekaligus Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan dipimpin oleh Panglima Besar Jendral Soedirman, serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta.”
“Pernyataan Fadli Zon tersebut salah besar! Fakta dan dokumen sejarah justru menguatkan pernyataaan Humas Jogja,” tegasnya.
Adian menduga kesalahan Fadli Zon berangkat dari salah baca terhadap tanggal dan bulan dalam dokumen sejarah. Sebab, pengangkatan Syafruddin Prawiranegara oleh PDRI sebagai Menteri Pertahanan baru dilakukan dua bulan setelah Serangan Umum, yaitu pada tanggal 16 Mei sebagaimana dokumen sejarah berupa surat yang ditandatangani tanggal 19 Mei 1949 oleh R. Marjono Danubroto selaku Sekretaris PDRI saat itu.
“Lalu apa peran Soeharto saat Serangan Umum 1 Maret di Jogja? Peran Soeharto ya sebatas pelaksana perang semata, pelaksana yang diperintahkan berperang oleh atasannya, bukan penggagas, inisiator atau pemilik ide apalagi pemegang peran sentral,” urainya.
Bahkan sesungguhnya perintah perang pada Soeharto tersebut sudah diberikan sekitar 2 bulan sebelum Serangan Umum 1 Maret melalui Perintah Siasat Panglima Divisi III /Gub Militer III TNI yaitu Kolonel Bambang Sugeng sejak tanggal 1 Januari 1949 dengan nomor 4/S/cop.I.
“Yang isinya memerintahkan Cdt Daerah I (Lt.kol Moch Bachrun), Cdt daerah II (Lt.kol Sarbini) dan Cdt Daerah III (Lt.kol Soeharto) untuk mulai melakukan perlawanan serentak sejak 17 Januari 1949,” sambung Adian.
Atas alasan itu, Adian menilai Keppres 2/2022 yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi bukan hanya meluruskan sejarah terkait gagasan, ide dan perintah tentang Serangan Umum 1 Maret.
Namun lebih jauh lagi Kepres itu boleh jadi juga sebuah upaya "menjaga" nama Soeharto dengan membatasi agar tidak terjadi klaim berlebihan terhadap peristiwa sejarah tersebut.
Baginya klaim berlebihan seolah Soeharto menjadi tokoh sentral yang menjadi "sutradara sekaligus aktor pemeran utama" dalam Serangan Umum 1 Maret bisa saja kemudian ditafsirkan bahwa Soeharto seolah telah "meniadakan" struktur negara, yaitu Presiden, Wakil Presiden hingga Menteri Pertahanan dan meniadakan struktur TNI yang ada di atasnya saat itu. Di antaranya Panglima Besar Soedirman dan Panglima Divisi III selaku atasan Letkol Soeharto.
“Menurut saya yang menarik untuk dipertanyakan justru apa motif Fadli Zon "mengarang" sejarah seolah ingin menjadikan Soeharto sebagai tokoh utama serangan umum 1 Maret?” tegasnya.
“Apakah "karangan" tersebut sebagai balas budi pada Soeharto yang mengangkatnya menjadi anggota MPR tahun 1997 atau justru mungkin bisa ditafsir untuk menjerumuskan Soeharto agar dianggap sebagai Letkol yang melakukan perang tanpa perintah Presiden, Menhan, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kolonel Bambang Sugeng selaku panglima Divisi III wilayah Jawa Tengah dan Jogjakarta?” sambung Adian.
Daripada Fadli Zon meminta pemerintah merevisi Keppres tersebut, Adian justru meminta mantan Wakil Ketua DPR RI itu untuk merevisi kembali ingatan, bacaan dan alur logika sejarah yang dimiliki.
“Agar tidak terjadi seperti apa kata pepatah kerbau punya susu, sapi punya nama,” tutupnya.
Sumber: RMOL
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »