BENTENGSUMBAR.COM - Lembaga kepolisian tengah menjadi sorotan akibat video tindak kekerasan terhadap mahasiswa sempat viral di media sosial. Banyak kalangan menyayangkan peristiwa tersebut.
Kejadian berawal pada Rabu, 13 Oktober 2021 lalu, ketika sejumlah mahasiswa melakukan aksi di depan komplek Pemkab Tangerang. Mereka meminta bertemu dengan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar yang saat itu berhalangan hadir karena sedang merayakan HUT.
Aksi demo yang awalnya berjalan damai pun mulai memanas, para mahasiswa memaksa masuk komplek Pemkab Tangerang. Massa aksi terlibat aksi pun saling dorong dengan petugas yang melakukan pengamanan di lokasi.
Dalam proses tersebut, seorang aparat kepolisian dengan inisial Brigadir NP melakukan smackdown terhadap salah satu mahasiswa bernama Faris yang mengaku berasal dari kelompok mahasiswa Himaka Banten.
Dalam konferensi pers, Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro menyebut, aksi smackdown yang dilakukan Brigadir NP itu bersifat refleks dan tidak bertujuan untuk sengaja mencelakai Faris.
Akibat tindakan kekerasan tersebut, Brigadir NP dikenai persangkaan pasal berlapis kepada terduga pelanggar dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
Brigadir NP telah dengan sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran aturan disiplin anggota Polri dan diberi sanksi terberat secara berlapis mulai dari penahanan di tempat khusus selama 21 hari, mutasi yang bersifat demosi menjadi Bintara Polresta Tangerang tanpa jabatan.
Selain itu, dia mendapatkan teguran tertulis yang secara administrasi akan mengakibatkan Brigadir NP tertunda dalam kenaikan pangkat dan terkendala untuk mengikuti pendidikan lanjutan.
Catatan panjang kekerasan aparat
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan tindakan kekerasan yang dilakukan Brigadir menambah daftar hitam catatan panjang represifitas yang pernah dilakukan oleh aparat kepolisian.
Pada 2019, pihaknya mencatat 68 kasus tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian saat demonstrasi. Penangkapan sewenang-wenang pun telah memakan sebanyak 3.539 korban.
Tak hanya itu, penahanan sewenang-wenang juga terjadi pada 326 korban serta penyiksaan sebanyak 474 korban. Penyiksaan paling banyak dilakukan di kantor polisi atau saat ditangkap.
Asfin menyebut, jumlah 474 korban tersebut hanya mencakup yang bisa ditangani oleh LBH-YLBHI. Padahal, pihaknya baru mampu menangani kasus di 17 provinsi. Jadi, jumlah tersebut bisa saja lebih tinggi karena banyak yang tak tercatat.
Sementara itu, Pengacara Publik LBH Jakarta, Teo Reffelsen juga mempunyai catatan yang serupa. Dia juga merangkum rentetan tindakan represif dan kekerasan yang pernah dilakukan oleh aparat kepolisian.
Misalnya, kekerasan pernah terjadi saat kerusuhan tanggal 21-22 Mei 2019. Saat itu banyak beredar anggota yang memakai baju polisi melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap massa demonstran. Sebanyak 4 orang tewas karena peluru dan 1 orang tewas akibat hantaman benda tumpul.
Namun demikian, Teo mengungkapkan contoh tersebut itu hanya secuil tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Dia memprediksi masih banyak daftar tindakan represif dan kekerasan lainnya yang tak tercatat, terutama di wilayah yang sulit dijangkau.
Langkah penindakan
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menilai, pemeriksaan psikologi perlu dilakukan sebagai langkah penindakan ketika petugas melakukan tindak kekerasan yang berlebihan.
Menurut Benny, pemeriksaan psikologis dibutuhkan untuk melihat latar belakang di balik tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Dia pun membuka kemungkinan, tindakan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan pertemanan atau pekerjaan.
Hasil tes tersebut, lanjut dia, dapat menjadi bahan evaluasi untuk kemudian dilakukan pembenahan. Selain itu, Benny juga mengimbau pihak Kepolisian untuk menanggapi peristiwa tersebut secara serius karena publik semakin aktif mengawasi kegiatan Polri lewat media sosial.
Sementara itu, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyambut baik keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengeluarkan surat telegram (TR) terkait perintah penindakan tegas bagi anggota yang kasar terhadap masyarakat.
Menurutnya, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) TR itu bisa dijadikan pedoman bagi para pimpinan agar anak buah tak melakukan kekerasan. Selain itu, Poengky juga menilai perlu adanya edukasi kembali terkait Perkap No. 8 tahun 2009.
Aturan tersebut menjelaskan tentang Implementasi Standar dan Prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas Polri. Pelatihan keterampilan perlu dilakukan secara berulang agar tindakan Kepolisian di lapangan sesuai dengan hak asasi manusia.
Tak hanya itu, Poengky menyarankan agar anggota kepolisian dibekali dengan keterampilan dalam penangkapan dan penahanan yang sesuai HAM. Hal ini agar tidak terjadi lagi tindakan yang melukai target, seperti membanting dan sejenisnya.
Laporan: Dhani L
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »