BENTENGSUMBAR.COM - Batik dan perempuan telah lama menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di Desa Jarum, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, salah satunya. Di Desa yang terkenal sebagai desa penghasil kain batik tulis dari bahan alami ini, hanya perempuan yang diperbolehkan membatik.
Alasan yang mendasar, menurut salah satu penduduk setempat, karena perempuan bisa bekerja dengan lebih bagus dan teliti. Pasalnya, membatik bukan pekerjaan untuk sembarang orang, terlebih batik tulis. Perlu keuletan dan ketelitian agar corak batik yang dihasilkan rapi juga indah.
Jika memutar sejarah ke belakang, seni membatik memang telah didominasi oleh perempuan sejak sebelum Indonesia merdeka. Menurut Dipo Alam, pendiri Yayasan Batik Indonesia, baik pelaku usaha maupun tenaga kerja di industri batik sejak awal perkembangannya telah didominasi oleh kaum hawa.
Secara sosiologis, menurut Dipo, perempuan di Jawa khususnya dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, memang memiliki peran dominan dalam kehidupan ekonomi.
Ketika itu, di tengah kultur feodal dan juga priyayi, laki-laki biasanya diharapkan untuk bekerja di lembaga pemerintahan daripada berdagang. Pekerjaan sebagai pedagang dianggap lebih rendah derajatnya dibanding menjadi pegawai.
Sementara itu, di kalangan rakyat biasa, laki-laki biasanya bekerja di sektor pertanian sebagai petani produsen. Inilah menurut Dipo yang telah membuat kegiatan ekonomi dan perdagangan di Jawa banyak diisi oleh kaum perempuan, termasuk industri batik rakyat.
Kini, kondisi dunia telah jauh berbeda. Dipo mengutip beberapa pakar marketing yang menyebut bahwa zaman sekarang terjadi gelombang budaya baru alias “New Wave Culture”.
Berbeda dengan zaman sebelumnya, dunia saat ini didominasi oleh 3 kekuatan besar, yaitu anak muda (youth), perempuan (women) dan netizen. Posisi perempuan, lanjutnya, benar-benar dianggap vital hingga kemudian melahirkan istilah "The Power of Emak-emak".
Industri batik memburuk
Sayangnya, perkembangan zaman juga turut menggerus seni membatik tradisional. Bahkan sebelum pandemi Covid-19 meluluhlantakkan perekonomian dunia, batik sudah telah menghadapi banyak tantangan zaman.
Beberapa tahun terakhir ini, serbuan produk tekstil China dengan motif mirip batik terus membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah dari produk lokal.
Dipo menjelaskan, proses pembuatan batik cap masih melewati proses yang rumit, melibatkan lilin (malam), ngelorot, serta teknik pewarnaan yang tidak sederhana. Masih banyak unsur seni di dalamnya. Sedangkan tekstil printing sama sekali bukanlah sebuah karya seni.
Kondisi pengrajin batik lokal menjadi semakin buruk karena bahan baku tekstil di dalam negeri justru mengalami kelangkaan dan kenaikan harga yang signifikan. Ini membuat harga batik lokal lebih mahal dari textile printing dengan motif batik dari China.
Kondisi tersebut, sebelum pandemi pun sudah cukup memukul para pengrajin batik. Apalagi saat ini, industri batik semakin terpuruk oleh Covid-19 yang membuat banyak usaha gulung tikar.
Terancam luntur
Terancamnya tradisi membatik juga turut membahayakan peran perempuan di sektor ekonomi. Hal ini tentu karena industri ini, seperti yang sebelumnya disebutkan, didominasi oleh perempuan.
Lebih jauh, mayoritas perempuan Indonesia bekerja di sektor informal, yakni mencapai 61%. Di antara mereka ini, terdapat para pembatik perempuan yang mata pencahariannya terancam tergerus zaman dan semakin terpuruk oleh pandemi.
Meski demikian, masih menurut Dipo, tradisi membatik sendiri, sebagai sebuah seni, mungkin tidak akan benar-benar hilang. Namun sebagai industri rakyat, serta arena artikulasi ekonomi “emak-emak” Indonesia, industri batik bisa jadi akan segera menjadi masa lalu. Inilah, lanjutnya, yang mendesak untuk segera diselamatkan.
Dipo mencatat angka penjualan di berbagai sentra produksi batik, mulai dari Cirebon, Pekalongan, Solo, Yogyakarta, hingga ke Pamekasan, terus merosot tajam.
Jika pada 2019 nilai transaksi perdagangan batik nasional mencapai Rp3,6 triliun, maka pada 2020 nilainya tinggal Rp910 juta saja. Pada 2021, geliat industri batik memang mulai terlihat, tapi belum signifikan.
Bahkan, sebagian besar produsen batik, khususnya yang berskala Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), telah berhenti total. Sejumlah pengrajin batik, yang kebanyakan perempuan, pun terpaksa berhenti membatik, sebagian alih profesi untuk bertahan hidup.
Menurut data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), dari 151.656 pengrajin batik yang tercatat, kini hanya tinggal 37.914 pengrajin saja yang masih berproduksi.
Secara ekonomi, menurut Dipo, sebenarnya tidak ada persoalan dari alih profesi semacam itu. Namun, dari sisi yang lain, misalnya kebudayaan, alih profesi tadi bisa mengancam kelangsungan tradisi batik di tanah air.
Sebab, membatik adalah seni keterampilan motorik halus, sementara pekerjaan-pekerjaan baru yang kini dijalani oleh mantan pengrajin batik tadi umumnya adalah pekerjaan kasar.
Jika tidak ada intervensi untuk memutus mortalitas industri batik rakyat, dan mengembalikan para pengrajin tadi ke profesi awalnya, kata Dipo, Indonesia akan menghadapi kendala serius dalam memulihkan keterampilan para pembatik tadi. Menurut penulis, isu ini perlu mendapat perhatian yang serius.
Laporan: Mela
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »