BENTENGSUMBAR.COM - Setiap warga negara ingin mendapatkan jaminan rasa aman dari ancaman penghilangan paksa. Tidak hanya ditagih untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, tetapi juga untuk masa depan. Korban, saksi, kerabat korban, dan setiap orang butuh komitmen negara untuk memberikan langkah nyata guna menjamin rasa aman dari ancaman penghilangan paksa.
Tepat pada hari ini setiap tanggal 30 Agustus ditetapkan sebagai Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peringatan ini diciptakan sebagai pengingat masyarakat dunia bahwa pernah terjadi kejahatan penghilangan orang secara paksa di berbagai negara. Selain itu, peringatan ini bertujuan menarik perhatian masyarakat dunia untuk terus mempertanyakan nasib orang-orang yang dihilangkan secara paksa.
Di Indonesia, kasus penghilangan orang secara paksa terjadi di beberapa daerah selama kurun waktu pemerintahan militeristik Orde Baru dan bahkan terjadi ketika masa reformasi. Tercatat pada peristiwa pembantaian 1965/1966 terdapat puluhan ribu orang yang menjadi korban penghilangan paksa.
Di Aceh, pada periode DOM, Pasca DOM dan juga Darurat Militer terdapat ribuan orang menjadi korban penghilangan paksa. Bergeser ke Lampung, tahun 1989, peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari dicatat oleh Komnas HAM juga terdapat tindakan penghilangan orang secara paksa. Pada tahun 1982 – 1985, praktik penumpasan bromocorah dan gali di luar prosedur hukum disebutkan Komnas HAM terdapat 23 orang hilang dan tidak ditemukan keberadaannya.
Tahun 1984, ketika pecah peristiwa Tanjung Priok, Komnas HAM juga mencatat 23 orang menjadi korban penghilangan secara paksa. Pada puncak demonstrasi pro demokrasi tercatat 23 orang menjadi korban penghilangan paksa, yang 13 orang lainnya masih hilang hingga kini. Di wilayah timur, yaitu Papua, Komnas HAM menyebutkan 5 orang menjadi korban penghilangan paksa saat peristiwa Wasior tahun 2001.
Berbagai bentuk penghilangan paksa yang dijelaskan di atas belum mampu ditangani oleh negara. Sejak bergulirnya reformasi 21 tahun yang lalu, yang harusnya dimaknai sebagai titik balik negara untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, nyatanya tidak ada sama sekali kebijakan negara untuk segera melakukan penuntasan kasusnya.
Modalitas paling utama untuk menjalankan agenda di atas terdapat pada rekomendasi Panitia Khusus untuk Kasus Orang Hilang tahun 1997/1998 yang dibentuk DPR RI pada tahun 2009.
Rekomendasi tersebut berisikan 4 poin yang ditujukan pada Presiden dan Pemerintah. Poin pertama berisi Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997/1998. Poin kedua berisi Presiden harus membentuk tim pencarian 13 orang aktivis yang masih hilang.
Poin ketiga, Pemerintah perlu memberikan reparasi kepada keluarga korban penghilangan orang secara paksa dan poin terakhir soal Pemerintah harus segera melakukan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Tindak Penghilangan Paksa.
Aksi kamisan
14 tahun sudah keluarga korban dan aktivis HAM menggelar aksi menuntut terangnya dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Air.
Aksi Kamisan ini digagas oleh tiga keluarga korban dugaan pelanggaran HAM berat, yakni Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas pada November 1998 dalam Peristiwa Semanggi I.
Kemudian Suciwati, istri mendiang pegiat HAM Munir Said Thalib, dan Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga PKI pada tahun 1965-1966.
Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi lanjutan dari keberadaan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menjalankan programnya.
Di penghujung tahun 2006, JSKK yang merupakan paguyuban korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mengadakan diskusi bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) dan KontraS untuk mencari alternatif kegiatan dalam menyuarakan aspirasinya.
Pada pertemuan hari Selasa, 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK, disepakati untuk mengadakan suatu kegiatan untuk memperjuangkan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Sebuah kegiatan berupa 'Aksi Diam' sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.
Pilihan jatuh pada hari Kamis, karena hari tersebut merupakan hari di saat peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan. Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 WIB. Waktu tersebut dipilih lantaran saat sore hari itu lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang kerja.
Dilansir dari berbagai sumber, Aksi Kamisan ini menitikberatkan pada aksi diam disertai payung hitam bertuliskan tuntutan-tuntutan penyelesaian kasus. Aksi ini juga disebut Aksi Payung Hitam.
Aksi Kamisan sendiri dilatar belakangi dari sikap pemerintah yang dirasa semakin mengabaikan penyelesaian HAM. Pemerintah yang terus diam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat menjadi dorongan aktif keluarga korban dan para aktivis dalam menyuarakan aspirasinya.
Laporan: Mela
« Prev Post
Next Post »