BENTENGSUMBAR.COM - Ada empat syarat penting yang harus dimiliki seorang mediator agar berhasil. Selain pengetahuan mendalam mengenai konflik yang akan dimediasi serta aktor-aktor yang terlibat, mediator juga harus independen, berani tetapi tidak nekad, dan peka dalam menjaga harga diri pihak-pihak yang bertikai.
Hal ini disampaikan Jusuf Kalla dalam webinar publik “Memperkokoh Jembatan Kebangsaan: Belajar Mediasi Konflik dari Pengalaman Jusuf Kalla”. Webinar dilaksanakan secara virtual oleh PUSAD Paramadina dan Universitas Paramadina dalam rangka merayakan hari proklamasi pada Kamis, 19 Agustus 2021.
Selain menjabat sebagai Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019, Jusuf Kalla juga dikenal sebagai mediator ulung. Dia berjasa memediasi konflik-konflik kekerasan antara lain di Ambon, Poso, dan Aceh.
“Sebelum melakukan mediasi, seorang mediator wajib mengumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai konflik yang akan ditangani. Sejarah konflik, isu, karakteristik pihak yang bertikai, dan peta aktor serta kepentingannya wajib tergali dengan rinci,” ujarnya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa aktor yang akan diundang menjadi pihak dalam mediasi adalah perwakilan yang tepat. Tak jarang, proses mediasi gagal terlaksana karena perwakilan yang diundang ternyata dianggap tidak representatif oleh pihak yang bertikai.
Selain itu, independensi mediator juga perlu dipastikan. Aspek netralitas dan imparsialitas seorang mediator menjadi penting dibangun untuk mendapatkan rasa percaya dari kedua belah pihak yang bertikai. Rasa percaya yang tidak terbangun akan berujung pada penolakan dari pihak yang bertikai untuk bersedia duduk dalam meja perundingan. Komunikasi harus dilakukan secara seimbang dengan kedua pihak yang bertikai untuk meyakinkan pihak bahwa mediator tidak memihak.
Tak jarang, ketangguhan dan keberanian mediator juga diuji ketika turun langsung ke daerah konflik dalam rangka pengumpulan data maupun menjalin komunikasi dengan dua pihak. Tekanan dan beragam ancaman juga sering diterima mediator mengingat isu konflik yang sensitif. Memastikan bahwa perasaan dan harga diri pihak terjaga juga menjadi aspek penting agar pihak mau terbuka untuk duduk bersama selama proses perundingan berlangsung.
Selain Jusuf Kalla, webinar juga mengundang Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor), Sandra Hamid (The Asia Foundation), Beka Ulung Hapsara (Komnas HAM), Sana Jaffrey (Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC) dan Shiskha Prabawaningtyas (Universitas Paramadina) sebagai komentator.
Dalam pengantar webinar, Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi menyatakan, mediasi makin penting diprioritaskan karena konflik-konflik terkait kerukunan di Indonesia terjadi di antara pihak-pihak yang tidak seimbang. Misalnya terkait pendirian gereja di wilayah yang diodominasi Muslim atau pendirian masjid di wilayah yang didominasi Kristen atau Katolik. Contoh lainnya adalah konflik terkait jemaat Ahmadiyah atau kelompok kepercayaan.
Dalam konflik-konflik seperti ini, mediasi bermanfaat karena proses itu menyeimbangkan posisi para pihak yang bertikai. Solusinya juga diharapkan win-win solution dan berjangka panjang, karena para pihak menetap di komunitas yang sama dan harus memelihara kerukunan. Mediator memainkan peran sebagai penengah yang tidak berpihak.
Karenanya, lanjut Ihsan, mediasi yang benar harus dipelajari dan dipraktikkan dengan baik. Kalau tidak, yang terjadi adalah pemaksaan kehendak mayoritas kepada pihak-pihak yang lebih lemah.
Dalam rangka itu, PUSAD Paramadina telah cukup lama mengadakan penelitian dan pelatihan dalam bidang binadamai dan resolusi konflik di Indonesia. Melalui jaringan pemerintah, tokoh agama, masyarakat sipil, dan forum-forum seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), kampanye binadamai terus diupayakan guna menjaga kehidupan beragama dan berkeyakinan yang rukun dan toleran di Indonesia.
(MJ)
« Prev Post
Next Post »