BENTENGSUMBAR.COM - Salamuddin Daeng, periset senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengungkapkan, Covid-19 adalah proyek raksasa. Mega proyek, katanya, yang menelan anggaran yang besar. Belanja pemerintah yang sangat besar.
Menurutnya, ini untuk pertama kali sepanjang sejarah pemerintah, membelanjakan uang negara dalam jumlah jumbo untuk satu kegiatan yakni penanganan Covid -19.
Dia mengutip data resmi Kementerian Keuangan yang mencatat, total anggaran untuk penanganan Covid-19 pada tahun 2020 mencapai Rp677,2 triliun. Dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan yang dikait-kaitkan dengan Covid-19.
Dilalah (red. kebetulan) jaman sekarang semua bisa dikaitkan dengan Covid-19.
"Maka jadilah negara covid atau ekonomi covid (ekocov). Anggaran covid akan semakin membesar setiap tahun, sampai 2025 mendatang," kata Salamuddin Daeng, dilansir dari AKURAT.CO pada Senin, 16 Agustus 2021.
Lantas, dari mana datangnya anggaran ini? Bagaimana pemerintah bisa punya uang sebesar ini?
Daeng mengatakan, bahwa uang ini didapatkan dari hasil utang, menjual surat utang pemerintah. Sepanjang tahun 2020 utang pemerintah bertambah Rp1.190 triliun, meningkat sebesar 199% lebih dibandingkan tahun sebelumnya sebelum Covid-19 datang.
"Sepanjang hidup bangsa ini belum pernah mengambil utang sebesar ini hanya dalam setahun. Itu kira-kira hampir setara dengan 2 kali utang 30 tahun pemerintahan Suharto dengan tingkat pengukuran kurs saat ini," tambahnya.
Daeng mengatakan, sebagian besar utang diberikan oleh Bank Indonesia (BI). Dari mana BI dapat uang? Pasalnya, BI menjadi makelar terbesar menjual surat utang pemerintah.
Pemerintah dapat uang, BI dapat untung. Tambahan utang tahunan Pemerintah Ini setara dengan dua kali BLBI/KLBI yang terjadi pada masa krisis moneter 97/98 senilai Rp 630,13 triliun.
"Harus dicatat bahwa utang pemerintah kepada BI selaku makelar penjualan surat utang pemerintah ini masih diangsur oleh APBN sampai dengan saat ini, dan belum tahu sampai kapan bisa lunas," jelasnya.
Lalu uang ini digunakan untuk segala keperluan yang berkait dengan Covid-19. Konon katanya agar ekonomi tetap tumbuh. Namun sepanjang tahun 2020 ekonomi Indonesia negatif, Indonesia mengalami resesi selama 4 kwartal berturut-turut.
Daeng mengungkapkan, dana covid tidak sampai pada sasaran dan tujuan. Dana habis tapi tak berasa. Dana habis tapi tak tahu siapa yang makan. Konon katanya untuk mengobati pasien covid, membiayai rumah sakit, membiayai tenaga kesehatan, mengongkosi para dokter, membeli vaksin, pengadaan obat (meski covid belum ada obatnya).
"Namun anehnya semua tak membawa dampak pada ekonomi," ujarnya.
Padahal dengan belanja sebesar itu ekonomi pasti melompat, paling tidak sektor kesehatannya melompat.
Mulai dari rumah sakit, pabrik obat, perusahaan Alkes, perusahaan vaksin, distributor vaksin, tenaga kesehatan, semuanya menjadi motor penggerak ekonomi covid.
Namun pergerakan ekonomi di sektor kesehatan pun tampaknya tidak terlihat, ujarnya.
"Walaupun ada peningkatan keuntungan rumah sakit ratusan persen, namun tidak menjadi stimulus signifikan bagi ekonomi covid," katanya.
Mengapa ini bisa terjadi?
Menurut Daeng, salah satu masalah adalah transparansi dana covid. Mestinya penggunaan dana ini telah terdigitalisasi secara penuh. Siapa terima berapa, pasien terima berapa, rumah sakit terima berapa, pasien covid terima berapa.
Lalu perusahaan vaksin terima berapa, petugas pelaksana protokol kesehatan terima berapa, semua mestinya secara kasat mata, sekali ketik di Google langsung publik tahu.
"Karena itu, anggaran yang inklusif terbuka dan transparan serta partisipatif, maka ekonomi akan tumbuh," tukasnya.
Laporan : Reko Suroko
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »