BENTENGSUMBAR.COM - Pengamat asing dari University of Sydney, Dr. Thomas Power mengungkap tahap-tahapan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Thomas Power, adanya tahapan-tahapan pelemahan KPK dapat dilihat dari menempatkan sebagian elit politik di luar jangkauan KPK, intimidasi terhadap penyidik KPK, deligitimasi diskursif terhadap penyidik independen, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, dan Revisi UU KPK serta implementasi RUU KPK (alih status menjadi ASN).
"Sejak penetapan Jokowi sebagai presiden tahun 2014, kita bisa melihat sebagian elit politik di luar jangkauan KPK. Terlihat jelas dibanding zaman SBY," ujarnya ketika menjadi pembicara pada diskusi: "Pengkerdilan KPK & Membaca Arah Politik Anti-Korupsi di Indonesia" yang digelar Paramadina Public Policy Institute secara virtual Senin, 7 Juni 2021.
Selain Dr. Thomas Power, hadir sebagai pembicara diantaranya Giri Suprapdiono (Direktur Sosialisasi & Kampanye Anti-Korupsi KPK), Dr. A. Khoirul Umam (Managing Director Paramadina Public Policy Institute), Razikin (PP Pemuda Muhammadiyah), Dr. Marzuki Wahid (Sekretaris Lakpesdam NU) dengan Moderator: Ikhsani (Mahasiswi PGSD).
Sementara itu, Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini ketika membuka diskusi mengajak untuk selalu dalam mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan negara yang bersih. Saat menyinggung perkembangan terkini KPK, ia menuturkan, Test Wawasan Kebangsaan hanya dampaknya, ujungnya di amandemen UU KPK.
"Karena ini kan demokrasi harus kita kritisi, pemerintah, negara yang menjalankan pemerintahan harus kita kritisi agar tidak melenceng," ungkapnya.
Giri Suprapdiono dalam paparannya menyatakan, dalam perkembangan sejarah Indonesia itu poco-poco, mulai dari 1954 membentuk lembaga anti korupsi bagus dibubarkan, membentuk lagi 1967 bagus dibubarkan, 1977 dibangun lagi bagus dibubarkan, kemudian 1987 bikin lagi bagus dibubarkan.
"1997 nggak kepikiran bubarin, negaranya hampir bubar, krisis ekonomi. Orde baru apa yang kita ambil, ternyata tidak boleh otoritarianisme, kepemimpinan enggak boleh tunggal," katanya.
"Maka muncullah lembaga-lembaga baru, KPK, Komisi Yudisial, Komisi Konstitusi, lembaga yang dipimpin oleh banyak. Komisioning, agar tidak terpusat ke salah satu pimpinan," terangnya.
"Orang selalu mengulangi kesalahan yang sama. KPK yang sudah mulai efektif dan menunjukkan prestasi pemberantasan korupsi sekarang mulai direposisikan ulang. Politisi bercita-cita merevisi UU KPK merupakan salah satu bentuk poco-poco tadi. Ketika ini dijalankan, Akhirnya coruptors fight back," imbuhnya.
Mengenai akar permasalahan korupsi Giri menyatakan, sistem politik Indonesia tidak rasional, sehingga kemudian mendorong pikiran-pikiran tidak rasional, termasuk korup dan memikirkan bagaimana memperlemah pemberantasan korupsi.
"Sistem ini menimbulkan 2 hal saja: Bagaimana dia mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam politik, dan mencari uang lagi untuk digunakan kembali ke pemenangan berikutnya. Maka yang terjadi adalah Politik sebagai alat logistik. Maka unsur lain menjadi tidak penting, termasuk pemberantasan korupsi," terangnya.
Ahmad Khoirul Umam menyatakan bahwa apa yang terjadi di KPK saat ini tidak terlepas dari fenomena politik.
"Hampir semua lembaga anti korupsi di Indonesia secara historis mereka mengalami penghancuran ketika sudah menyentuh lingkaran internal kekuasaan dan kemudian tidak ada leadership memadai untuk memberi proteksi terhadap lembaga anti korupsi, seringkali itu kemudian dihadapkan pada realitas penghancuran lembaga anti korupsi," katanya.
Umam menuturkan, situasi yang terjadi di KPK saat ini tidak mengagetkan. "Lahir dari rezim suatu pemerintahan yang kita dukung sebagai representasi kekuatan yang lebih demokratis, tapi toh tidak memberikan ruang yang memadai bagi menguatnya kekuatan demokrasi di Indonesia," jelasnya.
"Pasca reformasi, KPK merupakan satu-satunya instrumen penegakan hukum yang bisa melakukan koreksi terhadap kekuasaan. TWK hanyalah symptom dari berjalannya politik Neo-patrimonialisme. Kalau sekarang KPK dibunuh, ini akan menjadi awal bangitnya rekonsolidasi kekuatan neo-otoriteritarianisme di masa 23 tahun reformasi ini," pungkasnya.
Marzuki Wahid menyatakan bahwa Korupsi ini adalah penghianatan berat terhadap amanat rakyat dan juga kedzoliman yang sangat berat.
"Menurut ijma ulama juga menyatakan bahwa korupsi bukan hanya sekadar haram tapi juga keharaman yang berat dan termasuk dosa besar. Tindak pidana korupsi itu extra ordinary crime karena melawan kemanusiaan hukum dan syariat. Dalam sumber ajaran islam menurut al-Quran dan hadits, semua mengharamkan korupsi dengan berbagai bentuknya," ungkapnya.
Menyinggung perkembangan KPK, ia menyatakan, KPK harus independen, tidak partisan, tidak terpengaruh faktor di luar KPK. KPK harus konsisten, berintegritas, dan diberi kewenangan khusus.
"Saya berharap presiden Jokowi harus membuktikan kalau dia sungguh-sunguh ingin menegakkan pemberantasan korupsi ini sesuai janjinya," terangnya.
Tentang Tes Wawasan Kebangsaan, ia menuturkan "Ini orang-orang yang sudah terbukti di KPK lama bekerja, dibilang tak bisa dibina hanya karena tes TWK yang tesnya secara substantif dan metodologi masih bermasalah. Ini menjadi aneh memang, oleh karena itu saya sepakat bahwa TWK ini hanya satu intrumen/alat saja, sebelumnya sudah ada skenario kekuatan dibalik ini untuk melemahkan KPK dengan cara-cara seperti ini."
"Pelemahan KPK ini harus kita hentikan, jangan sampai KPK dilemahkan, kalau itu terjadi korupsi akan menggurita," tambahnya.
Razikin menggarisbawahi pentingnya Kelompok civil society jangan hanya memberi dukungan penuh terhadap KPK, tapi juga harus memberi kritikan tajam kepada kepolisian dan kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi.
"Pemuda Muhammadiyah posisinya sangat tegas, selalu hadir memberikan dukungan kepada KPK," pungkasnya.
(*)
« Prev Post
Next Post »