TIBA-tiba saya teringat akan sebuah ungkapan dari seorang teman, “Berubah itu menyakitkan, mas Bro’!”.
Saya coba lagi untuk memahami makna yang tersirat dan tersurat dari ungkapan teman tersebut. Dan ternyata, memang benar adanya bahwa merubah suatu ‘kebiasaan’ dari yang selama ini dijalani kepada ‘kebiasaan’ yang baru membutuhkan energi besar dan semangat yang kuat agar bisa berada di posisi ‘kebiasaan’ yang baru.
Gempa yang terjadi di Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009 sejatinya telah merubah segala sesuatunya, walau belum signifikan secara kualitas. Musibah gempa memporak-porandakan gedung, rumah, sawah, ternak dan bahkan banyak nyawa manusia yang hilang. Tak terkecuali di desa saya yang letaknya di pesisir pantai barat pulau Sumatera. Tepatnya bernama Nagari Guguak Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat.
Pada bulan Februari 2010, desa kami mendapatkan bantuan ‘Program Pemulihan Ekonomi’ dari LSM Mercy Medan, Dasril S.Pd., sebagai ketuanya (saat ini menjabat Kepala Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Kota Pariaman), berupa benih jagung hibrida Pioneer P-21, pupuk serta biaya pengolahan lahan sebesar Rp.500 ribu untuk 1 hektarnya.
Lahan yang dikondisikan seluas 20 hektar. Kala itu saya dipercaya untuk mengalokasikan bantuan tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan. Untuk 1 hektar lahan dibutuhkan benih jagung seberat 15 Kg, dimana 1 kantong benih ukuran beratnya adalah 5 Kg.
Menanam jagung bukanlah kebiasaan di desa kami saat itu. Namun, adanya bantuan benih jagung tersebut ternyata telah merubah paradigma masyarakat kami. Sampai pada tahun ini, April 2021 (sudah 11 tahun), di desa kami telah banyak yang menanam komoditi jagung (ayam). Adanya keuntungan yang didapat membuat masyarakat bersemangat untuk menanam jagung, bahkan sudah banyak lahan tidur yang diolah menjadi lahan menanam jagung.
Sungguhpun demikian, ternyata tetap saja kehidupan petani di desa kami dalam kondisi yang menyedihkan. Kepiawaian pemilik modal memainkan perannya kembali membayang-bayangi tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan. Tak jauh bedanya dengan petani padi. Kemiskinan dan kesulitan hidup masih kental dirasa.
Kembali saya pelajari penyebabnya, dan simpulnya ternyata ada pada Rantai Pasok (Supply Chain) dan Sistem Logistik (Logistics System).
Rantai Pasok dan Sistem Logistik yang ada sampai hari ini dibagi menjadi 3 cluster:
1. Petani → Transporter →Grosir Lokal/ Pedagang Kaki Lima → Konsumen
2. Petani → Pengumpul → Pedagang Besar →Pasar Induk → Konsumen
3. Petani → Pemasok Khusus → Supermarket → Konsumen
Sedangkan Rantai Pasok dan Sistem Logistik masa depan dibagi menjadi 3 cluster:
1. Petani → Konsumen
2. Petani → Distributor → Konsumen
3. Petani → Supermarket → Konsumen
(Sumber: Tomy Perdana, 22 April 2021, “Sistem Rantai Pasok Pangan Cerdas – Smart Agrifood Supply Chain System”, materi webinar pada Sharing Session Perkumpulan Agripreneur Ganesha, Bandung).
Jadi, sudah tampak secara kasat mata bahwa keadaan Rantai Pasok dan Sistem Logistik yang ada sampai hari ini menjadi ‘biang keladi’ atau penyebab dari kemiskinan yang diderita oleh petani.
Pertanyaannya adalah apakah keadaan seperti ini masih tetap akan dipertahankan? Akankah petani sudah pasrah dalam keadaan tak berdaya dan tetap miskin? Atau adakah keberanian para petani untuk merubah paradigma lama dan beralih kepada paradigma baru?
Kepada teman-teman petani dimanapun berada, mari kita bergandengan tangan untuk merubah paradigma lama dalam bertani menuju paradigma baru. Tak kalah pentingnya disini adalah peran teknologi digital yang harus kita manfaatkan demi kemajuan usaha dan meningkatnya kesejahteraan petani di masa datang.
Petani Bangkit! Petani Go Digital! - (Bersambung). *)
Ditulis oleh: H. Ali Akbar, Tinggal di Padang Pariaman
« Prev Post
Next Post »