USAI menyelesaikan pendidikan di bangku perkuliahan pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universita Andalas Padang, bulan Desember 1995, saya diwisuda serta mendapatkan gelar kesarjanaan pada bulan Maret 1996.
Pada awal bulan April 1996 saya mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan joint venture (PMA) antara Indonesia dan Australia, bergerak di bidang pergudangan (logistik), yang berkantor di Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan. Pekerjaan ini saya peroleh berkat bantuan teman, Wendra dan Irvan. Terima kasih untuk kebaikan kalian sobat, moga Allah swt membalasnya dengan kebaikan berlimpah. Aamiin..
Malang melintang hidup di kota metropolitan, Jakarta, saya teringat akan sebuah ungkapan, “Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam lagi ibukota.” Ya, tidak selamanya hidup itu berjalan mulus bahkan yang namanya susah, senang, hina dan mulia sudah menjadi pakaian hidup kita sebagai seorang insan.
Pada awal bulan Maret 2008, saya akhirnya menguatkan diri untuk hijrah dan pulang ke kampung halaman. Tinggal di desa menjadi harapan baru bagi saya sekaligus berniat mengabdikan diri untuk memajukan kampung halaman.
Awalnya memang tidaklah mudah untuk menyesuaikan diri dalam pekerjaan sebagai petani. Ya, bertani menjadi pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh masyarakat di desa saya. Biasa kerja di kota menggunakan ‘Otak’, di desa mesti menggunakan “Otot’. Perbandingannya tinggal di desa, menggunakan ‘Otak’ cukup 30%, sedangkan selebihnya menggunakan ‘Otot’ sebesar 70%.
Beberapa minggu tinggal di desa, saya membuat Peta Jalan (Road Map) untuk hal apa saja yang harus saya kerjakan di kemudian hari demi kemajuan masyarakat di desa. Maka, pada bulan Nopember 2008, saya bersama beberapa orang tokoh masyarakat membentuk sebuah Kelompok Tani, yang kami beri nama SUKMA JAYA. Saya dipilih secara aklamasi sebagai ketua kelompok, “Nan didahulukan salangkah, ditinggian sarantiang”, demkian pepatah minangnya.
Cara bertani kami disini pada umumnya masih secara konvensional. Artinya, cara-cara bertani yang mengikuti kebiasaan-kebiasaan nenek-moyang terdahulu. Kehidupan bertani tidak mengalami kemajuan yang berarti. Kemiskinan dan kesulitan hidup tetap menjadi bayang-bayang masyarakat desa. Hasil panen yang dicapai ternyata tidaklah bisa mencukupi untuk biaya hidup keseharian.
Khusus bagi petani padi, dimulai sejak pengolahan lahan, menyiang, pemupukan sampai tahap panen, menggunakan dana dari pihak ketiga (tengkulak/ ijon). Pemilik modal selalu diuntungkan dengan adanya setiap kegiatan bertani. Ketika panenpun para pemilik modal dapat untung, membeli hasil panen dengan harga yang tidak memadai.
Sekarang sudah memasuki bulan April 2021. Saya membaca situasi dan keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Dimana lagi adanya ‘Kemerdekaan’ petani? Apakah faktor ‘Kemiskinan’ harus selalu melekat kepada pekerjaan ‘Bertani’? Apakah petani tidak boleh kaya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu lalu lalang di dalam fikiran saya.
Berada dalam era Digital 4.0, sudah seharusnyalah para petani di desa meninggalkan cara-cara bertani konvensional. Petani harus bangkit dan maju. Menjadi petani harus kaya. Kenapa? Karena petani punya ‘daya tawar’ yang kuat, petani punya produk.
Mari kita manfaatkan akses teknologi digital untuk kemajuan petani.
Petani Bangkit! Petani Go Digital! - (Bersambung).
*Ditulis Oleh H. Ali Akbar, Tinggal di Padang Pariaman.
« Prev Post
Next Post »