BENTENGSUMBAR.COM - Tokoh asal Papua Christ Wamea mengkritik soal temuan barang bukti dari pihak kepolisian di rumah terduga teroris di Jakarta, Kabupaten Bekasi, dan Sukabumi.
Dirinya menyoroti adanya perbedaan pendekatan dari temuan bukti-bukti kasus teror bom dahulu dengan sekarang.
Dahulu menurut tokoh asal Papua tersebut barang bukti yang biasa ditemukan di rumah terduga teroris adalah Al-Quran dan peralatan ibadah lainnya.
Sementara saat ini, yang ditemukan di rumah terduga teroris justru adalah poster Habib Rizieq Shihab (HRS) dan pernak-pernik dari ormas terlarang FPI.
"Dulu stp ada kasus teror bom barang bukti yang biasanya ditemukan di rumah terduga teroris adalah Al-Quran, sajadah (seperangkat alat sholat) buku-buku tentang jihad dan VCD," ujar tokoh asal Papua.
"Sekarang beda yang ditemukan dirumah terduga teroris adalah poster HRS dan pernak-pernik dari FPI," sambungnya seperti dikutip dari akun Twitter @PutraWadapi, Selasa, 30 Maret 2021.
(*)
Mutiara Hadis
Diriwayatkan oleh Imam An Nasa-i dalam kitab Al Khasha-ish Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib (190), dengan sanad yang hasan,
‘Amr bin Ali mengabarkan kepadaku, ia berkata, ‘Abdurrahman bin Mahdi menuturkan kepadaku, Ikrimah bin ‘Ammar berkata, Abu Zamil menuturkan kepadaku, ia berkata, Abdullah bin ‘Abbas berkata:
Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu mereka ada sekitar 6000 orang. Maka aku pun berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib: “wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka kaum Khawarij”. Ali berkata: “aku mengkhawatirkan keselamatanmu”. aku berkata: “tidak perlu khawatir”
Aku lalu memakai pakaian yang bagus dan berdandan. Aku sampai di daerah mereka pada waktu tengah hari, ketika itu kebanyakan mereka sedang makan. Mereka berkata: “marhaban bik (selamat datang) wahai Ibnu ‘Abbas, apa yang membuatmu datang ke sini?”. Aku berkata: “Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang membersamai Nabi, Al Qur’an di turunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lah yang paling memahami makna Al Qur’an. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Akan aku sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian”. Lalu sebagian dari mereka mencoba menahanku untuk bicara.
Aku berkata lagi: “sampaikan kepada saya apa alasan kalian memerangi para sahabat Rasulullah dan anak dari pamannya (Ali bin Abi Thalib)?”. Mereka menjawab: “ada 3 hal”. Aku berkata: “apa saja?”. Mereka menjawab: “Pertama: ia telah menjadi hakim dalam urusan Allah, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah” (QS. Al An’am: 57, Yusuf: 40). Betapa beraninya seseorang menetapkan hukum!”. Aku berkata: “ini yang pertama, lalu?”. Mereka menjawab: “Kedua: ia memimpin perang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanimah. Padahal jika memang ia memerangi orang kafir maka halal tawanannya. Namun jika yang diperangi adalah orang mukmin maka tidak halal tawanannya dan tidak boleh diperangi”. Aku berkata: “ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”. (Ketiga) Mereka menyampaikan perkataan yang intinya kaum Khawarij berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya, dengan demikian ia adalah Amirul Kafirin. Aku lalu berkata: “apakah masih ada lagi alasan kalian?”. Mereka menjawab: “itu sudah cukup”.
Aku berkata: “bagaimana menurut kalian jika aku membacakan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya yang akan membantah pendapat kalian? apakah kalian akan rujuk (taubat)?”. Mereka berkata: “ya”. Aku katakan: “adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib telah menetapkan hukum dalam perkara Allah, aku kan membacakan Kitabullah kepada kalian bahwa Allah telah menyerahkan hukum kepada manusia dalam seperdelapan seperempat dirham. Allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan untuk berhukum kepada manusia dalam hal ini. tidakkah kalian membaca firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya): ‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya diantara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil diantara kamu‘ (QS. Al Maidah: 95)”
Ini diantara hukum Allah yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Andaikan Allah mau, tentu Allah bisa memutuskan saja hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia. Demi Allah aku bertanya kepada kalian, apakah putusan hukum seseorang dalam mendamaikan suami-istri yang bertikai atau dalam menjaga darah kaum muslimin atau dalam masalah daging kelinci itu afdhal? Mereka menjawab: “iya, tentu itu afdhal”. Dalam masalah pertikaian suami istri, “Dan bila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga wanita” (QS. An Nisaa: 35). Demi Allah telah bacakan kepada kalian diperintahkannya berhukum kepada manusia dalam mendamaikan suami-istri yang bertikai dan dalam menjaga darah mereka, dan itu lebih afdhal dari pada hukum yang diputuskan beberapa wanita. Apakah alasanmu sudah terjawab dengan ini? Mereka menjawab: “Ya”.
Aku berkata: “adapun perkataan kalian bahwa Ali berperang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah, saya bertanya, apakah kalian akan menawan ibu kalian ‘Aisyah? Apakah ia halal bagi kalian sebagaimana tawanan lain halal bagi kalian? Jika kalian katakan bahwa ia halal bagi kalian sebagaimana halalnya tawanan yang lain, maka kalian telah kufur. Atau jika kalian katakan ia bukan ibumu, kalian kafir. ‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mukminin)‘ (QS. Al Ahdzab: 6). Maka kalian berada di antara dua kesesatan, coba kalian pilih salah satu? Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?”. Mereka menjawab: “ya”.
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mu’minin darinya, maka aku akan sampaikan hal yang kalian ridhai. Bukankah Nabi shalallahu‘alaihi wasallam pada Hudaibiyah membuat perjanjian dengan kaum Musyrikin. Rasulullah berkata kepada Ali, “tulislah wahai Ali, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah”. Namun kaum musyrikin berkata, “tidak! andai kami percaya bahwa engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu”. Maka Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu hilangkan tulisan “Rasulullah” wahai Ali. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Hapus saja, wahai Ali. Dan tulislah, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah”. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentu lebih utama dari pada Ali. Namun beliau sendiri pernah menghapus gelar “Rasulullah”. Namun penghapus gelar tersebut ketika itu tidak menghapus kenabian beliau. Apakah alasan kalian sudah terjawab dengan ini?”. Mereka berkata: “ya”.
Ibnu Abbas berkata, “maka bertaubatlah sekitar dua ribu orang di antara mereka, dan sisanya tetap memberontak. Mereka akhirnya terbunuh dalam kesesatan mereka. Kaum Muhajirin dan Anshar lah yang membunuh mereka”.
« Prev Post
Next Post »