Keraton Surakarta Hadiningrat Jangan Runtuh

Keraton Surakarta Hadiningrat Jangan Runtuh
BENTENGSUMBAR.COM - Konflik Keraton Surakarta belum berujung. Konflik  yang berawal tahun 2004 itu berkutat soal perebutan “kekuasaan”. Untuk hal itu kontributor BentengSumbar.com berbincang dengan Guru Besar bidang Komunikasi Lintas Budaya,  Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Prof Dr Andrik Purwasito EA mengenai hal tersebut. Berikut hasil wawancaranya:


Saya masih ingat ketika Sinuhun XII masih hidup, beliau pernah berpesan agar “aja pisan-pisan dolanan adeging Ratu.” Artinya bahwa Kedudukan Raja adalah persoalan yang sangat serius. Jadi tidak boleh dianggap remeh. Ini persoalan yang tidak saja menyangkut urusan fisik dan yang tampak mata, tetapi adeging Ratu (eksistensi Raja) adalah tugas manusia mengemban Amanah Tuhan di bumi, yakni Sang Murba Wisesa atau Sang Amurwa bumi.


Raja mempunyai kekuasaan yang menyeluruh dan mutlak terhadap rakyatnya (di dalamnya termasuk keluarga, kerabat dan juga pendukungnya), yang dikenal dengan “wenang wisesa sanagari.” Meskipun demikian Raja dalam memerintah ada paugeran atau wewaler, yakni Adat istiadat Jawa yang adiluhung. Oleh sebab, ia adalah wakil Tuhan di bumi maka ia mempunyai wewenang untuk menjaga ketertiban dan ketenangan kerajaan dan masyarakat.


Raja digambarkan sebagai Ratu Gung Binathara, artinya raja yang didewakan, serta mempunyai banda-badhu, kekayaan yang berlimpah serta banyak kerabatnya. Artinya, bahwa Raja tidak sendirian dalam memerintah. Ia bersama dengan Timnya merupakan organisasi yang menggerakkan operasional Kraton. Ia memposisikan diri sebagai mbaudendha hanyakrawati, yakni posisi strategis sebagai Raja dalam menggunakan kekuatan untuk menghukum dan menguasai dunia.


Dengan posisi seperti uraian tersebut di atas, maka kedudukan Sinuhun XIII secara konseptual menjadi sangat kuat. Hanya saja, pesan lain yang pernah saya dengar dari Sinuhun adalah angka jam itu hanya sampai 12. Maka ia bertanya, apakah Raja Kasunanan Surakarta hanya sampai 12? Misteri itukah yang mungkin menjadi teka-teki terjadinya konflik di Kraton? Sinuhun juga pernah mengemukakan bahwa tanah untuk pemakaman Raja-raja di Imogiri sudah habis, dan beliau sendiri ngudarasa, “apa aku ya sik kebagen?” Saya hanya mendengarkan ngudarasa itu dan tidak berani memberi tafsiran. Mungkin juga eksistensi Kraton Surakarta telah berakhir di sini? Walllahua’lam bissawab.


Di sisi yang lain, Sinuhun XII pernah berpesan kepada semua orang, di Sasana Handrawina (1998) bahwa, “Saya minta dengan hormat agar Keraton Surakarta jangan sampai runtuh.” Pernyataan beliau tersebut adalah sebuah pesan yang kongkrit pentingnya Keraton dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus, beliau juga sangat mengkhawatirkan eksistensi Keraton di masa depan. Pesan tersebut disampaikan pada saat Indonesia mengalami era reformasi, yakni era perubahan yang mendasar di berbagai bidang kehidupan, yang sering disebut reformasi multidimensi.


Mengapa berlarut-larut?


Konflik memang terjadi karena ada perbedaan dalam banyak hal. Saya tidak tahu persis motivasi dan detil di belakang konflik tersebut. Setidaknya, dari uraian saya di atas saya melihat masing-masing pihak mempunyai pemikiran dan kepentingan yang sulit dipertemukan. Kesulitan tersebut mungkin saja bersifat abstrak. Yakni mengingat bahwa di satu sisi, Sinuhun XIII telah menduduki tahta secara sah. Berarti beliau menyandang gelar Ratu Gung Binathara. Posisi tersebut telah menempatkan; 1) Raja mempunyai kuasa untuk berkehendak dan mengontrol Keraton secara penuh dan  (2) Raja mempunyai kuasa untuk menerima, menjaga dan mendistribusikan bandha-bandhu (harta kekayaan).


Di posisi yang lain, Dewan Adat Kraton mempunyai kehendak, yang pada umumnya tidak sepaham atau tidak sejalan dengan Sinuhun XIII dan Timnya.  Termasuk dalam kasus kedatangan tamu dari BPK untuk bersilaturahim dengan Sinuhun XIII di Keraton Surakarta, saya melihat bahwa ada upaya untuk tidak melibatkan pihak Dewan Adat Kraton dalam pertemuan tersebut.  Ini adalah persoalan komunikasi politik dibanding dengan konflik itu sendiri.


Solusi


Konflik di Keraton Kasunanan Surakarta merupakan konflik keluarga. Hanya keluarga Keraton sendiri yang dapat mencari jalan ke luar. Tetapi secara teoritis, sebuah konflik dapat diselesaikan apabila para pihak bersedia untuk;  1) Dialog/komunikasi yang intensif; 2) mencari jalan tengah, sedia melepaskan ego;  3) membuka diri untuk membangun Keraton di masa depan. Ketiga pendekatan tersebut dapat dicapai apabila kedua belah pihak saling menghormati satu sama yang lain sebagai sebuah keluarga (fammiliarity), kedua belah pihak saling mencari kesamaan dalam berbagai masalah (similarity), yang ketiga, kedua belah pihak membicarakan berbagai masalah yang saling berdekatan (proximity). Apabila dasar teoritis tersebut tidak disepakati maka konflik akan menemui jalan buntu.


Sala Kuncara


Apakah Keraton Surakarta mampu menjadi basis Sala Kuncara? 


Saya tidak melihat secara historis dan sosiologis. Saya membaca lambang-lambang budaya yang telah ditorehkan pada Kota Surakarta. Lambang yang jelas di depan mata kita, adalah patung Slamet Riyadi dengan posisi yang agak membelakangi Kraton. Lambang itu menurut interpretasi saya menunjukkan bahwa Keraton tidak lagi dianggap aset yang penting dalam membangun Sala Kuncara. Sala Kuncara adalah berdirinya Mall-mall, hotel dan tempat hiburan serta rekreasi.


Saya pernah meminta agar posisi patung Slamet Riyadi yang bawa senjata itu diundur sampai di pojok jalan. Selain tidak menutupi area kebebasan yang secara historis digunakan oleh rakyat untuk pepe, agar bisa melakukan dialog dan protes terhadap Raja. Jadi, simbol-simbol baru, seperti pasar, mall, tempat hiburan, hotel, serta café-café adalah konsep baru agar Sala menjadi kota metropolis, dan bukan sebagai kota budaya yang ramah dan penuh ambians yang romantik. 


(Reko Suroko)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »