BENTENGSUMBAR.COM - Pasca penyerangan terhadap warga di dekat kantor redaksi Charlie Hebdo pada 25 September 2020, Imam Besar Masjid Agung Paris Chems-eddine Hafiz dan para pengurus Dewan Masjid Prancis menemui Presiden Emmanuel Macron di Istana Elysee.
Mereka mendesak Macron agar segera membuat UU khusus untuk mengatasi kaum Islamis (radikal) yang berupaya membangkang terhadap Republik.
"Mereka gelisah sangat karena polisi dan jaksa seperti tak serius menangani aksi-aksi kekerasan bermotif agama," kata Mahmud Syaltout dalam Blak-blakan di detik.com, Senin, 2 November 2020.
Kepada Macron, mereka juga menegaskan bahwa untuk menghadapi kaum islamis perlu diperbanyak imam yang moderat.
Salah satunya lewat lewat program vokasi setara Diploma 3. Untuk biaya akan ditanggung bersama pemerintah.
Cuma untuk ijazah para lulusannya harus diakui setara dengan ijazah universitas oleh negara.
Pembahasan lebih teknis dilanjutkan dalam pertemuan ke esokan harinya dengan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, Menteri Pendidikan, dan Deputi Menteri Imigrasi.
Chems-eddine Hafiz dan kawan-kawan berharap Islam yang tumbuh dan berkembang di Prancis harus yang mencerahkan dengan membawa pesan-pesan damai.
Mereka resah dengan kiprah para imam 'impor' yang datang dari negara-negara di luar Prancis yang cenderung membawa wajah Islam yang radikal.
"Umat utuh Imam yang betul-betul paham ayat Quran, hadist, serta ajaran Islam yang penuh cinta kasih, bukan yang gampang terhasut dan tersulut untuk bersikap dan bertindak beringas," kata Mahmud menirukan kalimat Chems-eddine Hafiz dalam sebuah wawancara dengan televisi Prancis.
Ketika wacana pembuatan UU tersebut bergulir, aksi-aksi vandalisme ke gereja dan masjid terus berlangsung silih berganti.
Akhirnya pada 2 Oktober Emmanuel Macron menyampaikan pidato soal Laicite (sekularisme atau abanganisme), Islamisme (radikal), dan Islam Lumieres (mencerahkan, rahmatan lil alamin, sekaligus cinta tanah air.
Bagi Macron, Laicite itu ibarat semen yang merekatkan antar warga masyarakat berbeda agama dan pandangan politik.
Di bagian lain dia mewanti-wanti agar kaum muslim tak terkena jebakan betmen mereka yang biasa suka berpolemik dan kelompok ekstrem kanan yang suka melakukan stigmatisasi terhadap Islam.
"Jangan sampai juga karena menghormati laïcité, kita justru terjebak pada "jebakan betmen" para tukang bikin polemik dan partai/kelompok ekstrimis."
Penyebutan 'partai/kelompok ekstrimis' waktu itu, menurut Mahmud Syaltout, lebih merujuk Partai Kanan ekstrim yang sudah mendeklarasikan Le Pen sebagai calon presiden di Pilpres 2022.
Le Pen dan partainya diketahui senang sekali melakukan stigmatisasi terhadap Islam.
Terkait radikalisme di Prancis, Macron mengungkapkan bahwa mereka melakukannya secara sadar sebagai gerakan politik agama.
Mereka secara membentuk komunitas-komunitas untuk melawan republik, seperti menuntut tempat-tempat olah raga eksklusif yang memisahkan lelaki dan perempuan.
Atau ada orang tua yang melarang anak mereka belajar di sekolah-sekolah negeri dengan tak ingin anaknya menjadi kafir.
Di Paris, kata Mahmud Syaltout yang mengajar Politik Prancis dan Eropa Barat di UI, memang pernah ada kolam renang yang pada hari dan jam tertentu digunakan terpisah oleh kaum perempuan dan lelaki.
"Tapi lebih karena alasan mencegah kenakalan tertentu, bukan karena motif agama," ujarnya.
Sumber: detikcom
« Prev Post
Next Post »