WALAU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Padang masih terhitung lama, namun nuansa politik di awal tahun 2017 ini sudah mulai terasa. Padahal, menurut rencana pilkada baru akan digelar pada Juni 2018.
Nuansa politik itu sudah mulai terasa dengan mengapungnya beberapa nama sebagai calon walikota dan wakil walikota. Masing-masing mereka sudah mulai turun ke akar rumput mensosialisasikan diri ke tengah-tengah masyarakat.
Kebanyakan dari mereka mendadak "merakyat" dan pro wong cilik. Padahal, selama ini mereka hidup di lingkungan "istana" mewah, yang jangankan menemui mereka, menelpon, apalagi sms tak pernah dibalas.
Mereka mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan mendengarkan keluhan-keluhan rakyat badarai itu. Mereka pun berusaha menyakinkan masyarakat, bahwa mereka adalah solusi terhadap keluhan-keluhan tersebut. Minimal mereka memberikan solusi saat itu juga dengan memberikan bantuan sesuai keinginan masyarakat.
Beda dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Tahun 2017 ini menjadi beban berat bagi mereka. Mereka harus berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Misalnya saja, ketika masyarakat mengundang camat menghadiri suatu acara, sering mereka melihat terlebih dahulu: Tujuan acaranya apa? Siapa tokoh yang diundang? Apahak walikota diundang dan datang?
Kalau acara itu berkaitan dengan sosialisasi diri seorang calon walikota atau yang disebut-sebut bakal maju dalam pilkada, sang camat biasanya tak datang atau hanya mewakilkan kepada stafnya saja. Pasalnya, takut ditegur atasan.
Ironisnya, gejala ketakutan itu juga kental terlihat dalam melayani atasan. Ada perlakuan yang berbeda diberikan, antara walikota dan wakil walikota.
Contoh nyata adalah kritikan Anak Nagari Pauh IX terkait perlakuan kepada Wakil Walikota H Emzalmi Zaini. Mereka merasa wawako menerima perlakuan yang sangat tak wajar, misalnya dari segi ekspost kegiatan. Walau Bagian Humas berkali-kali menyakinkan tak ada perlakuan yang berbeda.
Isu terbaru, orang-orang yang dianggap dekat dengan Emzalmi ditekan atau diawasi dengan ketat. Setidaknya ini sudah menjadi desas desus di internal ASN. Kononya banyak pejabat yang enggan "dekat" dengan Emzalmi karena takut dicap orang Emzalmi dan ujung-ujungnya beresiko pada jabatan mereka.
Tapi ini kan isu, tak perlu serius pula menanggapi. Sebab, segala kemungkinan bisa terjadi. Isu itu mungkin saja sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu menjelang pilkada. Bisa juga dikembangkan oleh ASN yang nonjob, tak dapat jabatan, dan merasa sakit hati serta merasa dekat dengan Emzalmi.
Hanya merasa dekat, belum tentu dekat. Cuma biar keren, dia bilang saja "tak terpakai" karena faktor kedekatan tadi. Padahal, dia "diparkir" karena kinerja yang buruk, kinerja yang tak bagus. Atau mungkin juga karena faktor keberuntungan belum berpihak kepadanya.
Konsep pidato pun terkadang akan menjadi persoalan besar, disaat salah memberikan. Pidato untuk wako dan wawako yang secara tak sengaja tertukar pun akan jadi persoalan. Padahal isinya sama, hanya tertukar saja. Mestinya untuk wawako, salah alamat nyampai ke wako atau sekda.
Di tahun politik ini, sedikit saja kesalahan dilakukan, maka tamatlah karir yang selama ini susah payah mereka gapai. Mereka harus pandai-pandai menempatkan diri, pandai membuang badan. Kalau tidak, mereka akan tercampak dari pusaran.
Pilkada memang kerap menjadi beban berat di kalangan ASN. Fitnah-fitnah berseliweran tak tentu arah. Jika tak pandai menyikapinya alamat badan akan celaka, meratap berputus asa, dinonjobkan dari jabatan.
Banyak yang menghendaki pilkada dihapuskan saja, cukup DPRD yang memilih walikota dan wakil walikota. Sehingga beban politik yang ditanggung tak seberat sekarang dirasakan. ASN yang ikut dalam permainan pilkada pun dapat dihindari.
Pandangan ini tentu ada benarnya. Apatah lagi Pancasila sebagai asas dan UUD 45 nan asli sebagai stadfundamental norm menganut asas perwakilan rakyat tersebut.
Wallahu'alam bishawab.
Ditulis Oleh:
Zamri Yahya
Wakil Ketua FKAN Pauh IX Kecamatan Kuranji Kota Padang
Nuansa politik itu sudah mulai terasa dengan mengapungnya beberapa nama sebagai calon walikota dan wakil walikota. Masing-masing mereka sudah mulai turun ke akar rumput mensosialisasikan diri ke tengah-tengah masyarakat.
Kebanyakan dari mereka mendadak "merakyat" dan pro wong cilik. Padahal, selama ini mereka hidup di lingkungan "istana" mewah, yang jangankan menemui mereka, menelpon, apalagi sms tak pernah dibalas.
Mereka mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan mendengarkan keluhan-keluhan rakyat badarai itu. Mereka pun berusaha menyakinkan masyarakat, bahwa mereka adalah solusi terhadap keluhan-keluhan tersebut. Minimal mereka memberikan solusi saat itu juga dengan memberikan bantuan sesuai keinginan masyarakat.
Beda dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Tahun 2017 ini menjadi beban berat bagi mereka. Mereka harus berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Misalnya saja, ketika masyarakat mengundang camat menghadiri suatu acara, sering mereka melihat terlebih dahulu: Tujuan acaranya apa? Siapa tokoh yang diundang? Apahak walikota diundang dan datang?
Kalau acara itu berkaitan dengan sosialisasi diri seorang calon walikota atau yang disebut-sebut bakal maju dalam pilkada, sang camat biasanya tak datang atau hanya mewakilkan kepada stafnya saja. Pasalnya, takut ditegur atasan.
Ironisnya, gejala ketakutan itu juga kental terlihat dalam melayani atasan. Ada perlakuan yang berbeda diberikan, antara walikota dan wakil walikota.
Contoh nyata adalah kritikan Anak Nagari Pauh IX terkait perlakuan kepada Wakil Walikota H Emzalmi Zaini. Mereka merasa wawako menerima perlakuan yang sangat tak wajar, misalnya dari segi ekspost kegiatan. Walau Bagian Humas berkali-kali menyakinkan tak ada perlakuan yang berbeda.
Isu terbaru, orang-orang yang dianggap dekat dengan Emzalmi ditekan atau diawasi dengan ketat. Setidaknya ini sudah menjadi desas desus di internal ASN. Kononya banyak pejabat yang enggan "dekat" dengan Emzalmi karena takut dicap orang Emzalmi dan ujung-ujungnya beresiko pada jabatan mereka.
Tapi ini kan isu, tak perlu serius pula menanggapi. Sebab, segala kemungkinan bisa terjadi. Isu itu mungkin saja sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu menjelang pilkada. Bisa juga dikembangkan oleh ASN yang nonjob, tak dapat jabatan, dan merasa sakit hati serta merasa dekat dengan Emzalmi.
Hanya merasa dekat, belum tentu dekat. Cuma biar keren, dia bilang saja "tak terpakai" karena faktor kedekatan tadi. Padahal, dia "diparkir" karena kinerja yang buruk, kinerja yang tak bagus. Atau mungkin juga karena faktor keberuntungan belum berpihak kepadanya.
Konsep pidato pun terkadang akan menjadi persoalan besar, disaat salah memberikan. Pidato untuk wako dan wawako yang secara tak sengaja tertukar pun akan jadi persoalan. Padahal isinya sama, hanya tertukar saja. Mestinya untuk wawako, salah alamat nyampai ke wako atau sekda.
Di tahun politik ini, sedikit saja kesalahan dilakukan, maka tamatlah karir yang selama ini susah payah mereka gapai. Mereka harus pandai-pandai menempatkan diri, pandai membuang badan. Kalau tidak, mereka akan tercampak dari pusaran.
Pilkada memang kerap menjadi beban berat di kalangan ASN. Fitnah-fitnah berseliweran tak tentu arah. Jika tak pandai menyikapinya alamat badan akan celaka, meratap berputus asa, dinonjobkan dari jabatan.
Banyak yang menghendaki pilkada dihapuskan saja, cukup DPRD yang memilih walikota dan wakil walikota. Sehingga beban politik yang ditanggung tak seberat sekarang dirasakan. ASN yang ikut dalam permainan pilkada pun dapat dihindari.
Pandangan ini tentu ada benarnya. Apatah lagi Pancasila sebagai asas dan UUD 45 nan asli sebagai stadfundamental norm menganut asas perwakilan rakyat tersebut.
Wallahu'alam bishawab.
Ditulis Oleh:
Zamri Yahya
Wakil Ketua FKAN Pauh IX Kecamatan Kuranji Kota Padang
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »