Oleh: Anna Yulend Perantau Minang di Jakarta. |
KETIKA kita berbicara tentang janda, pasti yang terbayang dibenak Anda bermacam tingkah polah janda yang dianggap melanggar norma: lemah, putus asa, genit, suka menganggu suami orang, berpakaian selalu menggoda, dan tergantung kepada pemberian orang kepadanya, dimana pemberian itu berujung pada imbal jasa. Saya katan, itu adalah tipikal janda yang lemah, tipikal wanita yang ketika ditinggal cerai atau mati suami, merasa hidupnya sudah tamat, tiada daya upaya lagi, tidaka kemandirian dalam menempuh hidup ini.
Namun, apakah semua janda seperti itu? Tidak. Tidak semuanya yang seperti itu. Masih banyak wanita yang menjadi janda karena status janda yang dia sandang menjadi wanita mandiri, sukses membangun karir dan mendidik anak-anaknya, tanpa tergantung kepada "paragihan" keluarga atau pemberian seorang lelaki karena hiba dan mengharap si janda mau melayani nafsunya.
Saya katakan, janda adalah wanita kuat, bahkan janda bisa lebih hebat dari seorang lelaki. Janda yang mandiri, berani, tekun dan ulet, bisa jadi posisinya di atas lelaki. Waktu berstatus istri, boleh jadi dia berada di bawah lelaki, yaitu suaminya. Namun ketika dia berstatus janda, timbul keberanian untuk merubah nasib secara mandiri, karena tidak ada lagi penghalang baginya untuk berkarya. Namun, bukan berarti saya menapikan kelebihan lelaki dari seorang wanita sebagaimana firman Tuhan dalam kitab sucinya.
Ahli tafsir mengartikan ayat tersebut sebagai kekuasaan lelaki atas wanita. Dimana kaum Adam berhak mengatur wanita, menekan mereka untuk memenuhi hak Allah, seperti menjaga yang fardhu dan menghindarkan bahaya dari mereka. Kaum laki-laki juga pemimpin kaum perempuan dalam arti yang memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Kelebihan laki-laki di atas perempuan dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya karena kewalian khusus dimiliki laki-laki, kenabian dan kerasulan juga khusus bagi laki-laki, dikhususkan bagi mereka beberapa ibadah seperti jihad, shalat Jum'at dan sebagainya.
Saya akui itu, tanpa menapikan kelebihan yang disebutkan dalam ayat itu. Namun kita tidak bisa membacanya sepenggal-sepenggal. Haruslah melihatnya dalam konteks pembahasan ayat itu, yaitu mengenai hukum perkawinan dalam Islam. Ayat itu berbicara kekuasaan seorang suami atas istri dalam rumah tangga. Sebab, kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah melebihkan mereka atas wanita karena menafkahkan sebagian hartanya.
Pendapat saya ini berdasarkan firman Tuhan dalam surah al Baqarah ayat 228, "Akan tetai, para suami punya satu tingkatan kelebihan daripada istrinya." Kelebihan yang dimaksud misalnya wajibnya taat bagi istri kepada suami. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sekaligus yang menafkahinya. Dan sebagai seorang istri, maka wajib bagi seorang wanita taat kepada suaminya, selama suaminya tidak memerintahkan perbuatan maksiat kepada Allah.
Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).
Dalam fikih Abu Hanifah, seorang wanita boleh menikah tanpa wali jika wanita itu sudah dewasa atau berstatus janda, bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa dan janda boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah Q.S. Al- Baqarah ayat 230 dan ayat 234.
"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” (Q.S. Al- Baqarah ayat 230). “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” (Q.S. Al- Baqarah ayat 234). Dalam konteks ayat ini, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).
Saya akui, pada dasarnya wanita adalah makhluk yang lemah, wanita butuh perlindungan, wanita butuh dukungan. Saya bilang itu dasarnya, namun didikan dan lingkungan akan menjadikan berbeda. Wanita yang lemah akan menjadi kuat jika didikan dan lingkungannya menuntut dia untuk kuat. Wanita yang butuh perlindungan akan menjadi pemberani jika didikan dan lingkungan menuntut dia untuk menjadi pemberani. Wanita yang butuh dukungan akan menjadi mandiri jika didikan dan lingkungan menuntut dia untuk menjadi mandiri. Wanita yang tidak mempunyai didikan dan lingkungan yang mendidiknya untuk berani, mandiri, dan kuat akan tetap menjadi kuat jika mempunyai niat, kepercayaan dan keyakinan.
Lelaki yang hidup mandiri itu biasa, karena pada dasarnya pria memang kuat dan sanggup untuk itu. Namun jika wanita hidup mandiri itu luar biasa. Sering kita lihat diluaran sana seorang wanita yang sendirian menjalani hidupnya, mengurus anaknya, melakukan apapun sendiri, biasanya ini terjadi karena suatu hal misal perceraian atau suaminya meninggal. Hal ini sudah tidak asing lagi untuk zaman sekarang, bahkan ada seorang wanita yang sukses menjalankan hidupnya sebagai pengusaha sekaligus mengurus keluarganya. Wallahu'alam bishawab.
Namun, apakah semua janda seperti itu? Tidak. Tidak semuanya yang seperti itu. Masih banyak wanita yang menjadi janda karena status janda yang dia sandang menjadi wanita mandiri, sukses membangun karir dan mendidik anak-anaknya, tanpa tergantung kepada "paragihan" keluarga atau pemberian seorang lelaki karena hiba dan mengharap si janda mau melayani nafsunya.
Saya katakan, janda adalah wanita kuat, bahkan janda bisa lebih hebat dari seorang lelaki. Janda yang mandiri, berani, tekun dan ulet, bisa jadi posisinya di atas lelaki. Waktu berstatus istri, boleh jadi dia berada di bawah lelaki, yaitu suaminya. Namun ketika dia berstatus janda, timbul keberanian untuk merubah nasib secara mandiri, karena tidak ada lagi penghalang baginya untuk berkarya. Namun, bukan berarti saya menapikan kelebihan lelaki dari seorang wanita sebagaimana firman Tuhan dalam kitab sucinya.
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. an-Nisa ayat 34).
Ahli tafsir mengartikan ayat tersebut sebagai kekuasaan lelaki atas wanita. Dimana kaum Adam berhak mengatur wanita, menekan mereka untuk memenuhi hak Allah, seperti menjaga yang fardhu dan menghindarkan bahaya dari mereka. Kaum laki-laki juga pemimpin kaum perempuan dalam arti yang memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Kelebihan laki-laki di atas perempuan dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya karena kewalian khusus dimiliki laki-laki, kenabian dan kerasulan juga khusus bagi laki-laki, dikhususkan bagi mereka beberapa ibadah seperti jihad, shalat Jum'at dan sebagainya.
Saya akui itu, tanpa menapikan kelebihan yang disebutkan dalam ayat itu. Namun kita tidak bisa membacanya sepenggal-sepenggal. Haruslah melihatnya dalam konteks pembahasan ayat itu, yaitu mengenai hukum perkawinan dalam Islam. Ayat itu berbicara kekuasaan seorang suami atas istri dalam rumah tangga. Sebab, kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah melebihkan mereka atas wanita karena menafkahkan sebagian hartanya.
Pendapat saya ini berdasarkan firman Tuhan dalam surah al Baqarah ayat 228, "Akan tetai, para suami punya satu tingkatan kelebihan daripada istrinya." Kelebihan yang dimaksud misalnya wajibnya taat bagi istri kepada suami. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sekaligus yang menafkahinya. Dan sebagai seorang istri, maka wajib bagi seorang wanita taat kepada suaminya, selama suaminya tidak memerintahkan perbuatan maksiat kepada Allah.
Wanita yang berstatus janda itu adalah wanita yang merdeka. Kenapa saya katakan demikian? Untuk menikah saja mereka tidak boleh dipaksa oleh walinya, mereka berhak menentukan dengan siapa mereka akan menikah. Bahkan, wali disyaratkan, jika ingin menikahkan janda, harus persetujuan janda itu secara tegas, bukan diamnya.
Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).
Dalam fikih Abu Hanifah, seorang wanita boleh menikah tanpa wali jika wanita itu sudah dewasa atau berstatus janda, bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa dan janda boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah Q.S. Al- Baqarah ayat 230 dan ayat 234.
"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” (Q.S. Al- Baqarah ayat 230). “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” (Q.S. Al- Baqarah ayat 234). Dalam konteks ayat ini, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).
Selain itu, menurut Abu Hanifah, perempuan melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hukum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad saw, "Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya." (HR Bukhari-Muslim).
Saya akui, pada dasarnya wanita adalah makhluk yang lemah, wanita butuh perlindungan, wanita butuh dukungan. Saya bilang itu dasarnya, namun didikan dan lingkungan akan menjadikan berbeda. Wanita yang lemah akan menjadi kuat jika didikan dan lingkungannya menuntut dia untuk kuat. Wanita yang butuh perlindungan akan menjadi pemberani jika didikan dan lingkungan menuntut dia untuk menjadi pemberani. Wanita yang butuh dukungan akan menjadi mandiri jika didikan dan lingkungan menuntut dia untuk menjadi mandiri. Wanita yang tidak mempunyai didikan dan lingkungan yang mendidiknya untuk berani, mandiri, dan kuat akan tetap menjadi kuat jika mempunyai niat, kepercayaan dan keyakinan.
Lelaki yang hidup mandiri itu biasa, karena pada dasarnya pria memang kuat dan sanggup untuk itu. Namun jika wanita hidup mandiri itu luar biasa. Sering kita lihat diluaran sana seorang wanita yang sendirian menjalani hidupnya, mengurus anaknya, melakukan apapun sendiri, biasanya ini terjadi karena suatu hal misal perceraian atau suaminya meninggal. Hal ini sudah tidak asing lagi untuk zaman sekarang, bahkan ada seorang wanita yang sukses menjalankan hidupnya sebagai pengusaha sekaligus mengurus keluarganya. Wallahu'alam bishawab.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »