WARUNG kopinya kecil saja, model gerobak terbuka yang permanen. Tapi karena tempatnya sejuk, saya pun mampir.
Ketika menunggu kopi dihidangkan, datanglah seorang kakek berpakaian lusuh, mendekati pemilik warkop dan menyerahkan uang Rp200 ribu. Kemudian ia pun pergi.
"Ia membayar hutangnya sesudah 2 tahun," Pemilik warung seorang bapak yang berusia 55 tahunan itu tiba-tiba berkata. Kebetulan hanya ada kami berdua. Sambil memberikan ku kopi, ia menceritakan ihwal peristiwanya yang rasanya kurang pantas untuk diceritakan disini.
Poin yang menarik adalah ketika aku bertanya, apa dia tidak pernah menagih uangnya ? Senyumnya begitu tenang dan kata-katanya dalam.
"Masa menagih itu sudah lewat. Awalnya saya marah karena ketika dia ditagih selalu bilang tidak ada uang. Tapi lama-lama saya berfikir, jangan-jangan memang dia tidak punya uang. Kalau memang tidak punya, bagaimana caranya dia harus mengembalikan ?
Saya lalu minta ampun kepada Tuhan, ternyata saya ikhlas itu hanya di bibir saja dan sama sekali tidak menggores hati. Ketika saya niat membantu, seharusnya disitu saya sudah ikhlas. Dan ketika bantuan saya keluarkan, maka saya tidak boleh mengharapkan itu kembali. Jika begitu bukan ikhlas namanya, tapi berharap balasan.
Sesudah berfikir begitu, langsung saya tenang. Uang itu besar sekali artinya buat saya, tapi tidak lebih besar dari ketenangan hati saya.
Semakin lama, saya semakiin malu. Saya dapat rejeki dari mana-mana, sampai bisa beli gerobak ini dan boleh jualan disini. Bukankah ini pengganti dari uang saya dan jauh lebih besar ? Lalu, untuk apa saya terus menuntut uang saya dikembalikan ?"
Sampai disini saya terdiam. Entah kenapa kopi saya jadi terlantar. Dia belum selesai dan melanjutkan,
"Saya tetap menghubungi dia, tapi tidak sesering pertama. Itu hanya untuk mengingatkan dia bahwa dia punya tanggungjawab, bukan untuk menagih. Kalau dia sudah ada, bayarlah, supaya dia jangan nanti bermasalah di hari pengadilan, kan kasihan. Dan dia sangat paham.
Mas tadi lihat dia kembalikan, meski sebenarnya saya sudah lupa. Buat saya tidak dikembalikan pun sebenarnya tidak apa-apa, tapi itu sudah kewajiban dia meski saya sekarang merasa ini sudah bukan lagi hak saya...."
Saya akhirnya mampu meninum kopi yang sudah mendingin. Tuhan itu sungguh menakjubkan, menyimpan mutiara di sudut yang tidak terlihat, bukan di dalam dinginnya mall yang segelasnya seharga 2 kilo ayam.
Kita cenderung berfikir ketika seseorang dalam kesusahan, ia sedang menghadapi ujian dari Tuhan. Tapi kita tidak pernah berfikir, bahwa ia juga sebenarnya adalah ujian bagi kita.
Saya pun beranjak pergi. Sebuah pelajaran lagi dipatri di hati.
Ditulis Oleh: Denny Siregar, tinggal di Jakarta.
Ketika menunggu kopi dihidangkan, datanglah seorang kakek berpakaian lusuh, mendekati pemilik warkop dan menyerahkan uang Rp200 ribu. Kemudian ia pun pergi.
"Ia membayar hutangnya sesudah 2 tahun," Pemilik warung seorang bapak yang berusia 55 tahunan itu tiba-tiba berkata. Kebetulan hanya ada kami berdua. Sambil memberikan ku kopi, ia menceritakan ihwal peristiwanya yang rasanya kurang pantas untuk diceritakan disini.
Poin yang menarik adalah ketika aku bertanya, apa dia tidak pernah menagih uangnya ? Senyumnya begitu tenang dan kata-katanya dalam.
"Masa menagih itu sudah lewat. Awalnya saya marah karena ketika dia ditagih selalu bilang tidak ada uang. Tapi lama-lama saya berfikir, jangan-jangan memang dia tidak punya uang. Kalau memang tidak punya, bagaimana caranya dia harus mengembalikan ?
Saya lalu minta ampun kepada Tuhan, ternyata saya ikhlas itu hanya di bibir saja dan sama sekali tidak menggores hati. Ketika saya niat membantu, seharusnya disitu saya sudah ikhlas. Dan ketika bantuan saya keluarkan, maka saya tidak boleh mengharapkan itu kembali. Jika begitu bukan ikhlas namanya, tapi berharap balasan.
Sesudah berfikir begitu, langsung saya tenang. Uang itu besar sekali artinya buat saya, tapi tidak lebih besar dari ketenangan hati saya.
Semakin lama, saya semakiin malu. Saya dapat rejeki dari mana-mana, sampai bisa beli gerobak ini dan boleh jualan disini. Bukankah ini pengganti dari uang saya dan jauh lebih besar ? Lalu, untuk apa saya terus menuntut uang saya dikembalikan ?"
Sampai disini saya terdiam. Entah kenapa kopi saya jadi terlantar. Dia belum selesai dan melanjutkan,
"Saya tetap menghubungi dia, tapi tidak sesering pertama. Itu hanya untuk mengingatkan dia bahwa dia punya tanggungjawab, bukan untuk menagih. Kalau dia sudah ada, bayarlah, supaya dia jangan nanti bermasalah di hari pengadilan, kan kasihan. Dan dia sangat paham.
Mas tadi lihat dia kembalikan, meski sebenarnya saya sudah lupa. Buat saya tidak dikembalikan pun sebenarnya tidak apa-apa, tapi itu sudah kewajiban dia meski saya sekarang merasa ini sudah bukan lagi hak saya...."
Saya akhirnya mampu meninum kopi yang sudah mendingin. Tuhan itu sungguh menakjubkan, menyimpan mutiara di sudut yang tidak terlihat, bukan di dalam dinginnya mall yang segelasnya seharga 2 kilo ayam.
Kita cenderung berfikir ketika seseorang dalam kesusahan, ia sedang menghadapi ujian dari Tuhan. Tapi kita tidak pernah berfikir, bahwa ia juga sebenarnya adalah ujian bagi kita.
Saya pun beranjak pergi. Sebuah pelajaran lagi dipatri di hati.
Ditulis Oleh: Denny Siregar, tinggal di Jakarta.
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »