Ketika Si Akang Menjadi Datuk

TULISAN ini bukan untuk mengolok-olok adat Minangkabau atau para pemangku adat. Tapi hanya sekedar bercerita lepas, menuangkan unek-unek yang tersemat dibathin. Kebohongan publik mungkin dapat dilakukan, tetapi bathin tak bisa didustai.

Tulisan ini berbicara tentang pemberian gelar adat Minangkabau kepada anak pisang yang ibunya bukan orang Minang. Misalnya ibu bersuku Sunda, ayah bersuku Minangkabau. Tapi tulisan ini tak berbicara teknis menurut aturan adat, tapi hanya bercerita apa yang tersemat di hati, didengar telinga, dan dilihat oleh mata. Bukan pula menceritakan orang tertentu atau memfitnah seseorang. Hanya sekedar cerita 'palamak ota' di 'lapau'.

Gelar pusaka di Minangkabau diturunkan dari ninik mamak ke kemenakan melalui jalur ibu. Sebab, Ranah Minang menganut sistem matrilinial, bukan patrilinial yang menurunkan gelar ke bangsawanan melalui jalur ayah.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, karena dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah politik, tak jarang orang Minang menurunkan gelar adat melalui jalur ayah. Semua itu dilakukan berdasarkan tuntutan zaman dan kepentingan semata.

Misalnya, anak pisang yang kebetulan bertarung memperebutkan jabatan dan kedudukan tertentu dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau calon anggota legislatif (Caleg) diberi gelar secara adat Minang. Sebab, jika gelar itu tak disematkan, maka keminangan anak pisang itu dipertanyakan pemilih. Dikarenakan anak pisang tadi ibunya non Minang.

"Hinggok mancakam, tabang basitumpu," mungkin itu pertimbangannya. Secara adat Minang dia tak berhak mewarisi gelar adat, karena ibunya bukan orang Minang. Demikian juga dikampungnya, karena ayahnya adalah orang Minang, bukan seetnis dengan ibunya, maka gelar adat tak pula dapat diturunkan kepadanya.

"Kamari bedo," maka terpaksa gelar dari pihak ayah yang disandangkan ke anak pisang. Tak apalah menyalahi aturan adat agak sedikit, apatah lagi anak pisang sedari kecil dibesarkan oleh bakonya, sampai sekarang dia sukses menjadi pejabat publik.

Jika diamati, hal semacam itu sudah menjadi kelaziman. Banyak orang diluar Minang yang sudah menyandang gelar adat Minang. Mulai dari pengusaha sampai kepada penguasa. Alasannya dia telah banyak berbuat untuk nagari dan Ranah Minang, maka sudah sepantasnya pula jasa-jasanya tersebut dihargai dengan menyematkan gelar Datuk atau semacamnya.

"Penjualan" gelar adat semacam ini sangat laku keras menjelang pilkada, dan pemilu. Ada saja orang yang tertarik menyandang gelar adat Minangkabau. Ingin pula mereka dipanggil Datuk atau Yang Dipertuan.

Sekali lagi, ini karena tuntutan zaman dan kepentingan semata, tak ada pula sangkut pautnya dengan adat istiadat. Pemberian gelar itu sekedar penghormatan atas jasa-jasa si penerima gelar.

Wallahu'alam bishawab.

Ditulis Oleh :

Zamri Yahya, SHI
Wakil Ketua PK. KNPI Kuranji

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »